5.26.2013

Karena Es Jeruk

Semalam, saya, butet, mbak nawang, mbak atika, mas bisma, faida, mas cahya, dan mbak nia berada di bawah hujan mendengar biksu dan bikhuni yang berdoa. Saya lihat butet terdiam di bawah payung hello kitty, saya entah melakukan apa di bawah payung besar bersama mbak nia, mbak nawang memotret beberapa hal, dan mas bisma berada di dalam jas hujan biru bersama tas besarnya.


Semuanya jadi jelek, semuanya kehujanan
Di bawah rintik hujan saya menjadi saksi bahwa prosesi ini sangat menenangkan, seharusnya, membawa sebuah kedamaian pada setiap manusia yang mendengar dan melihatnya. Saya dapat memahami apa yang hari ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan di linimasa. Waisak menjadi objek wisata. Sesungguhnya saya pun dapat dikatakan sebagai salah satu turis yang digeneralisasi oleh mereka -di linimasa- sebagai pengganggu ritual. Saya dapat mendengar bagaimana seorang bikhuni berbicara dengan mikrofonnya di tengah-tengah doanya, "tolong jangan lewat situ" atau "tolong jangan naik ke altar", dan ucapan serupa. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana kalau saya sedang sholat ied dan ada orang yang berisik banyak tingkah menonton saya. Tapi yang membuat saya begitu heran dengan orang-orang ini adalah ketika mereka ramai-ramai ber-huuu ketika diumumkan bahwa lampion tidak jadi diterbangkan hari itu karena hari hujan. Bagi saya, "kok mereka begitu sih? kok sangat penuntut sekali? kok tidak dapat memahami keadaan? kok egois."

Sebelumnya, saya berdesak-desakan di salah satu pintu masuk menuju Borobudur yang dijaga oleh polisi. Situasi yang sudah tidak bisa ditangisi, hanya bisa ditertawakan. Situasi yang terasa konyol mengingat tadi pagi saya sudah siap berangkat pukul tujuh sedangkan orang-orang yang menempel di bahu saya itu mungkin baru datang tadi ketika hari sudah gelap. Di situasi itu, saya pun tetap tak memiliki hak untuk memaksa polisi membuka gerbang. Mereka tak akan peduli kalau saya sudah berangkat sejak pagi, terlambat masuk karena harus menunggu pesanan bakmi yang tak kunjung datang, dan membeli segelas es jeruk kental seharga 8000 rupiah. Saya saja sudah merasa tak ada artinya untuk menyalahkan orang yang mungkin membuat situasi ini terjadi pada kami -tentu saja karena kekesalan saya sudah melebihi ubun-ubun. Namun, orang-orang itu berteriak minta dibukakan pintu, memaksa, dan mengeluh. Sah saja kok kalau mereka ingin melihat, tapi ya bukan begitu caranya.
Es Jeruk Fenomenal

Terlepas dari itu semua, saya bersyukur bahwa keyakinan kami untuk dapat masuk ke dalam terbayar. Setidaknya kami tidak mengamuk karena rencana matang yang telah kami idamkan sejak membuka mata di pagi hari gagal. Mungkin keadaan itu telah mengijinkan saya untuk membeli es jeruk yang mungkin terbuat dari sekilo jeruk yang harganya membuat kami terdiam bersama di sebuah warung bakmi yang katanya terkenal itu. Keyakinan yang saya tuliskan dalam buku catatan ketika orang-orang berubah air muka karena mendapat kabar bahwa semua pintu masuk Borobudur sudah tertutup setidaknya terwujud.
Bapaknya barusan bilang kalau udah nggak ada lagi pintu buat masuk ke candi. Jadi kita bangun pagi untuk makan bakmi? Akankah kita bertemu dengan biksu dan bikhuni? Makhya bilang dia sudah ada di dalam candi. Ah, tapi aku yakin kita pasti bisa menjadi saksi atas prosesi ini. 

No comments:

Post a Comment

Search This Blog