7.27.2017

Menanam Benih, Memanen Duka Lara, dan Lupa

Banyak yang pengalaman berkebunnya berhenti pada pelajaran perkembangbiakan tanaman saat SD, yaitu saat menumbuhkan kecambah dari biji kedelai di atas kapas basah. Kalau boleh sombong, pengalaman berkebun saya melesat begitu hebat setelah proyek kapas basah itu. Sejak proyek itu, saya jadi suka sekali bercocok tanam. Apalagi ketika percobaan tanamannya ditaruh di bawah kasur dan tempat bercahaya. Wow keren sekali hanya karena secercah cahaya dia punya kehidupan lebih baik dibanding temannya yang sial kena plotting di bawah kasur. 

Setelah itu, saya menanam jagung di halaman rumah. Berhasil dengan baik sampai tanaman jagungnya meninggi dan berhasil dipanen meskipun seingat saya jagungnya nggak enak. Di samping tanaman jagung, ada kacang yang saya tanam dengan seksama, berhasil dipanen pula. Sebuah prestasi yang layak diabadikan juga ya ternyata. Hebat! Yang saya ingat sih kacang dan jagung, sisanya saya lupa tanaman apa saja yang berhasil tumbuh dan dipanen, tapi sepertinya hasilnya tidak signifikan sampai saya lupa. Keberhasilan jagung dan kacang itu memompa semangat saya untuk terus merawat biji-bijian agar menjadi tanaman. Kadang-kadang berhasil, di lain waktu saya lupa juga menanam di mana karena terlalu sembarangan. Kalau sedang sial ya terinjak orang yang menyiram tanaman, atau tercabut karena dikira rumput. 

Pada suatu masa, saya pun pindah rumah. Tentu saja perlu penjajakan terhadap lahan pertanian saya. Sejak jauh-jauh hari saya sudah mengklaim halaman belakang rumah baru adalah lahan perkebunan saya. Bahkan saya punya rencana untuk menanam padi di situ. Hebat kan sepak terjang karir pertanian dan perkebunan saya pada masa itu. Sejauh yang saya ingat, pada akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan karir pertanian saya dengan menanam jagung dan kawan-kawannya di belakang rumah. Kali ini dengan konsep ciamik. Setiap tanaman saya pisahkan di blok-blok sendiri, diberi label nama-nama tanamannya. Di sini jagung, di sana kacang, dan seterusnya. Sebuah impian jika suatu hari dapat masak sayur asem dari kebun sendiri. Betapa hebatnya mengabaikan tukang sayur yang lewat karena saya sudah bisa petik sendiri, begitu angan-angan saya. Impian masa kecil saya memang begitu agraris dan tidak mengada-ada, benar adanya. 

Hingga datanglah masa liburan sekolah. Jika libur sekolah, saya akan pergi ke rumah kakek dan nenek di...ibukota. Benar teman-teman, saya meninggalkan kebun saya untuk berlibur ke ibukota. Kebalikan dari kisah di buku pelajaran Bahasa Indonesia, Ani dan Budi berlibur ke rumah nenek yang punya kebun. Saya sebaliknya.

Sepulang dari ibukota, saya berangan-angan kebun saya sudah tumbuh subur. Setidaknya hijaunya daun-daun tunas sudah bisa terlihat dari biji-biji yang ditanam itu. Sayang seribu sayang hanya kekecewaan yang muncul. Yang saya temukan hanyalah galian tanah di belakang rumah, kebun saya diubah jadi kolam ikan! Sebuah kejahatan! Seketika itu juga saya menangis tesedu-sedu, terluka kehilangan kebun impian. Sore itu adalah kehancuran bagi saya. Saya masih ingat tangis saya sore itu, kehilangan kebun jagung yang dinanti-nanti dalam angan, bahkan sejak berangkat pulang dari Jakarta. 

Tangis yang begitu dramatis itu membuat Papa saya memberi solusi yang mungkin cukup jitu, tapi tetap saja tak mengobati luka ini. Saya diajak ke ladang ketela di seberang jalan depan rumah (yang kalau ditengok saat ini sudah berubah jadi rumah bertingkat), kemudian saya diajak mengambil beberapa batang pohon ketela (duh, saya nggak yakin ini legal atau tidak, tapi usaha seorang ayah menghibur anaknya bolehlah dijadikan alasan untuk melegalkannya). Batang-batang pohon ketela itu dipotong-potong dan ditanam rapi, di lahan yang tersisa tidak terkena galian kolam ikan. Ladang jagung saya berubah jadi ladang ketela. 

Hati yang terluka, meski sudah sembuh pasti ada bekasnya. Sejak saat itu saya jadi malas mengurus kebun, terlanjur sakit hati kebun jagung saya dijadikan kolam ikan. Meskipun ladang ketela saya cukup luas, saya tidak terlalu mempedulikannya. Takut berharap, takut kecewa. Ya pada akhirnya beberapa batang pohon ketela itu tumbuh baik, bisa dipanen dan berhasil jadi kolak, getuk, dan oleh-oleh karena besar sekali. Hanya saja si pohon tumbuh tanpa niat baik dan ketulusan saya yang terlanjur patah hati dikecewakan kolam ikan si perusak ladang jagung. 

Bertahun-tahun kemudian, ketika kuliah pagi sudah jarang, saya mulai mendapat semangat berkebun itu lagi. Untungnya, si kolam ikan akhirnya pun tiada karena tidak ada yang mengurus dan dibongkar jadi lahan luas lagi. Saya mulai menebarkan biji-biji bayam, kangkung, tomat, dan timun. Timun dan tomat gagal panen. Bayam dan kangkung berhasil panen satu kali, jadi sayur bobor serta oseng kangkung. Selanjutnya, saya alfa dan lupa menyirami. Bangun kesiangan, kuliah pagi, lupa, dan musnahlah kebun kecil saya.

Setelah kuliah selesai dan hanya skripsi yang menghantui, saya mulai berusaha lagi. Kali ini membeli bibit bunga matahari. Tingginya sekitar 30 cm, saya pindahkan dalam pot, saya sirami setiap pagi, tak lupa di-update di snapchat. Bunga matahari mengalami pertumbuhan signifikan, satu cabang batang baru di tubuhnya yang belum kuat mulai tumbuh. Sebentuk harapan mulai muncul di angan-angan, punya kebun bunga matahari, betapa Instagramable. Hingga kemudian, datanglah Lovi, kucing peliharaan adik saya, dia melompati angan-angan itu, menabrak pot bunga matahari dan mematahkan batangnya. Bersamaan dengan itu, patah pula semangat saya menghidupi tanaman itu hingga akhirnya layu terinjak kucing. 

Sekarang, saya masih belum pulih dari kekecewaan tumbuhan-tumbuhan yang gagal tumbuh itu. Bibit-bibit sayuran masih menumpuk di sudut lemari, rajin saya beli tiap melihat penjual bibit dan pergi ke supermarket. Namun sayangnya, kali ini saya perlu menanam semangat hingga tumbuh optimisme yang bisa dipanen untuk memulai kebun impian lagi. Haruskah saya menanam kembali?

---

Tulisan ini adalah bagian dari progran "Tulis Saja, Kapan Lagi" bersama Anindita Lintang dan Gusti Arirang. Tulisan ini untuk tema berkebun, tema yang sudah ditentukan tiga minggu lalu, masih ada dua tema lagi yang akan saya susulkan. Selamat menanam apapun dalam hidup, jika panennya kekecawaan masih ada banyak kesempatan untuk bertanam, lahan masih luas. 

7.02.2017

Grup WA Keluarga

Lebaran kali ini dihebohkan dengan kehadiran seorang eyang yang tiba-tiba masuk di grup whatsapp keluarga. Eyang ini adalah kakak dari eyang saya, umurnya sudah lebih dari 75 tahun dan tepat sebelum Idul Fitri resmi menjadi anggota grup whatsapp keluarga yang berisi anggota keluarga dalam satu trah. Peristiwa ini menjadi perbincangan hangat di acara kumpul trah kemarin dan bahkan memancing beberapa orang tua mencetuskan lelucon-lelucon ala mereka terkait kegagapan teknologi anggota baru grup. 

 "Aku semalaman belajar gimana caranya membalas pesan dan buka chat," begitu ujar eyang yang baru saja jadi anggota grup. Sebuah usaha yang akhirnya tetap saja gagal dan berakhir menjadi bahan tertawaan anggota keluarga lainnya. 

Perihal generasi tua yang tiba-tiba hadir di platform-platform komunikasi kekinian bukanlah hal yang baru bagi saya terlebih dua tahun terakhir. Pertama-tama, eyang saya yang baru saja dibelikan handphone android oleh bude tiba-tiba rajin menelpon dengan pesan yang hampir sama, "nin, sini o, ini kok pulsaku habis ya padahal udah langganan internet." Telepon macam ini tidak hanya sekali atau dua kali, tapi sering dengan keluhan bervariasi, mulai dari caranya aktivasi paket data, kuota internet yang langsung habis pasca dipakai menonton Kick Andy di Youtube, sampai cara membuka kiriman foto di WhatsApp. Semua adalah hal remeh temeh yang bisa beres dalam hitungan detik di tangan generasi Y sampai Z. 

Jarak memang mengubah segalanya, termasuk hati yang bisa tiba-tiba lupa pernah beranak kupu-kupu karenanya. Kemajuan teknologi dan jarak dengan orang tua kini mau tidak mau harus digabungkan untuk mendapat solusi paling tepat. Tak mungkin lagi lah bergantung dengan sambungan telpon saja karena pertama boros pulsa, kedua jaman sekarang yang perlu dibagi ada banyak sekali. Mulai foto hari ini masak apa sampai video cucu sudah bisa nyanyi "twinkle-twinkle little stars". Kalau begini, generasi yang sudah ada lebih dulu tentu saja harus mengalah. Mengalah meluangkan waktu untuk belajar buka chat di WhatsApp dan membiasakan diri untuk tidak menempelkan handphone di telinga padahal video call. Generasi yang lebih muda juga harus bersabar menjadi teman belajar berteknologi mereka. Harus bersabar kalau tiba-tiba di-video call padahal sedang meeting dengan klien penting, atau kalau saya sih pernah tiba-tiba di-video call ketika lagi nangis jelek banget gara-gara berantem sama pacar waktu masih punya. Ya tentu saja tidak diangkat dong, daripada kemudian kabar saya nangis terus tersebar di WhatsApp. 

Kehadiran mereka tentu saja tidak berhenti begitu saja di WhatsApp dan Line. Bagi generasi eyang -eyang yang masih agak lebih muda, Facebook adalah sasaran setelah belajar berkirim foto dengan cucu di WhatsApp. Perilaku bermedia sosial ini adalah yang terakhir saya temukan pada eyang sendiri. Berfoto kini tak cukup sekali, harus diulang supaya layak unggah. Setelah berfoto, saya sudah langsung bisa lihat hasilnya di beranda Facebook saya. Cepat, kilat, seperti tukang foto keliling jaman saya masih TK. Perubahan-perubahan perilaku karena perkembangan teknologi macam ini sejatinya bukan hal baru, bagi generasi yang lebih muda. Namun, jadi terlihat mencolok ketika yang melakukan adalah eyang-eyang yang beberapa tahun lalu bertanya, "Facebook ki opo to?" sambil belajar mencari tombol send untuk mengirim SMS. 

Kehadiran lansia belajar teknologi ini adalah sebuah fenomena yang masih jadi pertanyaan bagi saya. Apakah perlu ditanggapi dengan serius atau tidak, ya? Apakah ini hanyalah fase sebelum akhirnya mereka semua cakap teknologi dan tidak perlu telpon cucunya lagi kalau mau buka kiriman foto di WA. Ataukah sebenarnya perlu ada inovasi khusus untuk memudahkan mereka mencari tombol send dan download? Mengingat mungkin desain interface yang dikembangkan sekarang bisa jadi tidak ramah bagi lansia. Seberapa penting dan perlu sih dipikirkan kemudahan akses teknolgi ramah lansia? Mengingat ya nantinya generasi ini tidak bertahan lama dan akan digantikan oleh generasi-generasi cakap teknologi selanjutnya.. Tapi, bukankah lebih bahagia jika para lansia ini bisa ngobrol dengan cucu-cucunya yang baru masuk SD tanpa harus bingung tekan tombol yang mana? 

Search This Blog