4.11.2016

Jakarta - Banda Neira

Delapan bulan terakhir, saya benar-benar menghentikan ritme kehidupan biasa saya. Semua kesibukan yang tadinya tertata rapi di tempatnya saya singkirkan sejenak demi memberi ruang bagi souvenir-souvenir kehidupan yang hanya bisa didapatkan dengan menyusup ke ritme yang seharusnya bukan jadi milik saya di saat ini. Selama itu, saya mengalami berbagai rupa jenis manusia. Mulai dari tempat yang tidak terlihat oleh dunia hingga kota yang selalu diamati oleh jutaan orang di negara ini setiap hari.

Setelah pulang dari Banda Neira, saya kembali sejenak di Yogyakarta hingga akhirnya memutuskan untuk mencicip rasa Ibukota. Beruntungnya saya masih mendapat waktu untuk kembali sejenak di Yogyakarta, jika tidak, mental saya bagaikan dicelup ke air mendidih setelah direndam di air dingin. Yogyakarta adalah netralisir bagi kehidupan lambat yang saya alami di Banda Neira untuk selanjutnya bisa merasakan kehidupan cepat penuh sesak ala kota metropolitan.

Jakarta dan Banda Neira jelas berbeda. Lalu apa yang sama? Saya tidak pernah mencoba menanyakan pertanyaan itu apalagi menjawabnya hingga pada suatu hari saya duduk di sebuah bar dan melihat pekerja-pekerja urban bergerak tak tentu arah mengikuti irama musik. Tiba-tiba saya mengingat lagu maumere yang setiap hari saya dengar dari speaker besar di belakang rumah tempat saya tinggal di Banda Neira.

 Ya, jangan harapkan jawaban serius dari saya, hanya saja ini nampak begitu sama. Pesta. Dalam sekejap pandangan saya terhadap kaum urban dan segala atributnya berubah ketika lirik “cintaku padamu takkan pernah berubah..” mengiang dalam kepala di tengah sebuah pesta ala kota metropolitan yang penuh dengan lampu neon dan dentum musik. Mereka sama saja, tidak jauh berbeda dari orang-orang yang terhantam ombak setiap hari di timur sana.

Tubuh saya tiba-tiba bergerak ketika musik semakin riuh. Sambil menyesap minuman yang rasanya sama seperti cairan hasil penyulingan aren yang begitu dahsyat di Banda Neira. Bedanya, minuman yang saya minum datang dari seorang bartender bergaya, sedangkan hasil sulingan aren itu datang dari botol air mineral bekas. Saya kemudian ingat, orang-orang di sana bergoyang setelah menyesap campuran bir dan sulingan aren yang akrab dipanggil Sopi itu. Bahkan, terkadang mereka yang kuat lebih memilih untuk menenggak segelas sopi murni. Serupa dengan satu shot tequila yang tak ada artinya dibanding Sopi. Ah tau apa saya tentang minuman keras.

Yang jelas sejak malam itu saya bersyukur telah berlayar sedemikian jauh untuk salah satunya mencoba berjoget di bawah tenda sederhana diiringi lampu neon seadanya dan musik disko ala Indonesia timur. Satu hal yang saya pelajari, ikut pesta di sebuah pulau kecil ternyata bisa mengajarkan banyak hal tentang manusia urban. Sebuah kabar gembira bahwa ada hal yang tidak akan menjadi mengejutkan bagi mereka yang ada di pulau itu jika tiba-tiba harus menjadi bagian dari kota ini.

Sejak saat itu saya sadar bahwa sesungguhnya manusia-manusia ini sama-sama terasing dan perlu dihibur. Yang satu terasing dari daratan lainnya dan yang satu lagi terasing dari ritme kehidupan wajar karena harus berhadapan dengan setumpuk pekerjaan. Pada akhirnya mereka harus berjoget serta membuat diri sendiri lupa akan keterasingan itu.

Mereka pesta dan berdansa seolah tak ada apa-apa, ada banyak cara untuk menutupinya”, begitu kata Ramondo Gascaro di lagunya yang berjudul “Oh, Jakarta”
---
Pada suatu malam di perjalanan pulang yang begitu panjang, saya melihat seorang perempuan muda dihardik sesama penumpang busway karena membuang sampah sembarangan di dalam bus.

Segera saja terbayang di benak saya wajah Icha, Wiwis, Pipin, Arini, Ija, dan anak-anak Banda lainnya. “Kak Arin, beta masukan sampahnya ke dalam tas ya,” begitu ucap salah satu dari mereka ketika kami berjalan pulang bersama melewati Benteng Belgica. Saat itu, saya terkesiap mendengar pernyataan itu. Adalah sebuah kabar gembira ketika anak-anak itu dengan sukarela menyimpan sampah pembungkus makanannya dan berniat membuangnya hingga bertemu tempat sampah. Sebuah harapan tiba-tiba terbit di kala matahari hampir tenggelam. Satu kalimat itu berarti banyak di tengah kebingungan kami terhadap sampah yang menumpuk dan mengotori laut di sekitar pulau itu. Sampah-sampah yang tidak tahu harus dibawa ke mana karena laut bukan tempat yang tepat untuk membuangnya sedangkan manusia tak bosan membuat sampah setiap saat.

Lain pula cerita ketika saya sedang berada di atas kapal pokpok menuju Pantai Wali, pantai di ujung Pulau Banda Besar. Ketika itu, di tengah angin laut yang begitu kencang, saya mencoba mengumpulkan sampah-sampah plastik yang kami buat dan memasukannya dalam tas. “Haha, dasar orang kota,” begitu kata salah satu orang yang berada di atas kapal itu. Komentar serupa saya dengar lagi ketika saya baru saja selesai makan siang di pinggir pantai, katanya, “kalau Arin sampah ini (sampah plastik) pasti dikumpulkan, memang dasar orang kota.” Apa yang salah sih dengan menjadi orang kota? Pikir saya.

Melihat orang membuang sampah sekenanya di Jakarta bukan lagi hal yang asing bagi saya. Sering saya lihat orang-orang bergaya kantoran membuang sampah di mana saja seolah Jakarta bisa menelan limbah mereka dalam beberapa detik. Apakah saya harus berkata, “dasar orang kota,” persis seperti kakak piara saya?

Setiap kali berada pada kejadian seperti itu, rasanya saya ingin bercerita panjang pada mereka. Bercerita bahwa sebagai ‘orang kota’ kita punya beban yang begitu besar di mata banyak orang di luar sana, yaitu menjaga kebersihan laut, bumi, dan seisinya. Saya ingin berkata pada mereka,”mati-matian aku bawa sampah-sampah itu di dalam tasku meskipun angin laut begitu kencang dan ombak hampir menelan kami yang penting plastik-plastik itu tidak tercecer membunuh karang. Sudah begitu, aku masih saja disamakan denganmu, disebut sebagai ‘orang kota’.”

Di saat yang sama pula, saya ingin menelepon orang-orang yang mengatai saya ‘orang kota’  dan berkata, “Kak, jang pernah lai pikir orang yang buang sampah pada tempatnya itu ‘orang kota’. Barang dong saja ada buat kota kotor. Tar perlu lah katong jadi ‘orang kota’ kalau mau bekeng kebaikan. Lebih bagus lai kalau dong yang pane sebut ‘orang kota’ itu bisa belajar dari pane. Percaya deng beta, ‘orang kota’ itu tar semua bekeng kebaikan,” ah sok menasehati sekali sih saya.  Kak, jangan salah, buang sampah pada tempatnya itu bukan kebiasaan orang kota, tapi kebiasaan manusia yang berusaha peduli pada sesamanya.


Sejak itu saya punya harapan besar pada Icha, Wiwis, Pipin, Arini, Ija, dan anak-anak Banda lainnya. Jika akhirnya mereka harus pergi dari Neira, mereka akan menjadi ‘orang Neira’ yang berusaha peduli terhadap sesamanya dengan membuang sampah pada tempatnya. Menjadi ‘orang Neira’ saja cukup untuk menjadi warga yang baik di setiap tempat, termasuk di kota besar penuh tipu muslihat macam Jakarta. Karena sesungguhnya, makna ‘orang kota’ yang disebut kakak piara saya dan kawan-kawannya itu tidak ada. Yang ada adalah, orang-orang yang mau menyayangi kotanya dan sekitarnya atau tidak. 

Search This Blog