6.19.2015

Hore!

Menulis posting ini dapat diibaratkan seperti sedang berbuka puasa. Lega. Akhirnya. Alhamdulillah. 

Ada pelajaran yang saya petik dari ikut 31 Hari Menulis tahun ini, jika merasa tidak mampu, ya sudah. Namun, saya tetap bersyukur ikut 31 Hari Menulis yang hebat ini karena kalau tidak ikut saya tidak akan pernah paham kalau saya tidak sehebat yang saya pikirkan. Rasa-rasanya masih harus banyak belajar supaya bisa menulis dengan baik apalagi sepertinya tulisan saya makin tidak bermutu dari hari ke hari. Sering-seringnya saya ngantuk, tidak unya ide, malas ngetik, pusing, dan akhirnya ngepost satu kalimat yang intinya sama "tolong jangan didenda."

Di tahun ini saya dapat empat kapak Bang Wiro. Sudah cukup membuat saya sedih lantaran biaya hidup semakin tinggi menjelang KKN. Tapi tidak apa, bang. Saya kini menyadari bahwa saya harus banyak berbenah dan sering-sering menulis lagi. Terima kasih, Bang, berkat jasamu kini saya bertekad untuk bisa menulis tanpa perlu diawasi Abang lagi.

Muah. Aku sayang abang Wiro.

6.16.2015

zzzzzzz

bzzzz...bzzzz...bzzzz
bz.
bz.
bz.

rrrrr...
rrrr.....
r,,,,

khhhhh....
kh.
kh.

there's insufficient storage in my brain.

6.15.2015

Kenyataan

Ada yang bilang sekarang kita punya dua dunia. Online dan Offline. Tau tidak apa bedanya? Bedanya, di dunia nyata kita tidak bisa mendelete begitu saja orang-orang di sekitar kita. Matilah itu semboyan my account my rules. Di dunia nyata, tidak ada itu cerita seseorang tiba-tiba suaranya tidak bisa didengar sama sekali oleh kita karena sebenci-bencinya saya sama orang tetap saja kalau ia bicara sekecil apapun di dekat saya pasti terasa. Di dunia maya hidup lebih ringkas, jengah dengan si A, matikan saja aliran informasi darinya di media sosial kita, done! 

Andai saja hidup di dunia nyata semudah menekan-nekan tombol seperti di dunia maya, saya tidak tahu lagi bagaimana nasib mereka. Mereka yang terkadang ingin saya tekan hidungnya dan segera menghilang dari pandangan saya. Saya juga bisa memilih harus mendengarkan siapa dan membuat senyap beberapa orang. 

Sayangnya, hidup tidak semudah di dunia maya. Sayangnya. 

6.14.2015

Menunggu Kereta

"Kereta Prameks tujuan Yogyakarta akan segera datang dari arah timur menuju jalur tiga," begitu kata-kata petugas peron yang terdengar di seluruh stasiun. Puluhan orang bergegas melompati jalur empat dan berjajar di belakang garis kuning menunggu dan bersiap untuk melompat ke atas kereta.

Saya dan Diah berjalan santai mengikuti orang-orang yang berkumpul di sepanjang garis kuning itu. Kami berdiri di sebelah seorang bapak berkumis yang menggendong tas besar di punggungnya.

"Prameks ini sampai mana ya berhentinya?" tanyanya tiba-tiba

"Stasiun Tugu aja pak"

"Oh, ga sampai purwokerto dan selanjutnya? Balik lagi gitu?"

"Iya pak"

Setelah menanyakan beberapa hal lagi, si Bapak kemudian bertanya lagi, "kuliah di mana?"

"UGM, pak"

"Jurusan apa?"

"Komunikasi"

"Ooooh"

"Kalau teknik elektro UGM itu bagus nggak sih?"

"Bagus kok, pak, favorit juga"

"Oh gitu ya, soalnya anak saya keterima di teknik elektro UGM"

"Oh bagus dong, pak, banyak saingannya juga pas masuk"

"Iya, anak saya itu keterima di teknik elektro UGM, teknik mesin UI, terus tambang dan minyak ITB. Eh, anak saya pilih ITB-nya aja"

".....ooh"

"Kalau liat anak-anak kaya kalian gini saya jadi ingat sama anak saya, kaya gini juga lah anak saya"

Kemudian kereta datang dan kami melompat ke atas kereta.

Bapaknya ini humblebrag abis. Anaknya kalo nggak pinter banget bisa dibilang apa ya itu..... tapi ya gitu... namanya juga orangtua yang sudah terlanjur bangga, mau gimana lagi :")

Halo mbak atau mas yang kuliah di ITB itu, mungkin kamu nggak sadar kalau ayahmu begitu bangga sama kamu. Sampai-sampai beliau bisa tiba-tiba inget kamu dan cerita tentang kamu ke orang asing seperti tadi siang. Disayang terus ya bapaknya, mbak dan mas :)

6.13.2015

Hehe

Sekarang saya sedang di Solo, numpang menginap di rumah teman setelah nonton Sore. 

Karena lapar, kami makan di tempat yang disebut angkringan. Tapi bingung sekali pesan di sini, baru mau pesan penjualnya bilang "sabar yo mbak" kemudian saya bingung sendiri, kok ibunya marah marah. Ternyata memang begitu. gatau kenapa. Ini ngetiknya pake hp diah, susah.

6.11.2015

Pada Suatu Sore

Keberadaan taman kota sudah lama diidam-idamkan oleh masyarakat Jogja. Kira-kira sekitar tiga tahun yang lalu, ketika kota-kota lain berbenah dengan taman kota dan ruang terbuka hijau mereka, warga Jogja mulai gelisah. Bersamaan dengan itu, taman kota di Jogja tak terlihat lagi perkembangan dan pertambahannya.


Saya penyuka taman, karena sejak kecil saya hobi sekali naik sepeda ke taman dalam kompleks dan bermain di sana bersama teman-teman. Tertusuk duri, daun, dan tersengat lebah adalah cerita menarik lainnya. Sejak pindah ke Jogja, taman kota yang bisa dibuat berlarian, main petak umpet, dan dikelilingi naik sepeda tak pernah terlihat. Sejak itu pula saya mafhum bahwa Jogja memang tidak punya tempat semacam itu, dan ya sudahlah pikir saya. Pun sampai ketika banyak orang mulai menginginkan taman kota di Jogja saya pun hanya bersikap biasa saja sambil, “oh iya, memang butuh taman kota ya.” 

Hingga akhirnya, pada suatu sore di Jakarta saya dan Mbak Lintang yang tidak tahu bepergian entah ke mana memutuskan untuk pergi ke Taman Suropati. Agak rumit memang menuju taman itu tanpa kendaraan pribadi. Naik bis ini dan itu nyambung ke sana ke mari dan turun di sebuah persimpangan jalan hingga akhirnya berjalan kaki. Kami berjalan kaki melewati kawasan rumah-rumah elite para duta besar. Jalanan tidak begitu ramai, ada sedikit ketenangan di sekitar sana. 

Awalnya kami pikir, apa sih yang mau dilihat di taman. Hingga akhirnya, saya duduk di tengahnya. Melihat banyak orang yang begitu bersemangat melakukan ini dan itu di tengah taman kota. Ada beberapa anak yang berlarian di taman sambil meniup gelembung sabun. Ada pula pasangan muda yang mendorong bersama kereta dorong bayinya. Sekelompok pengamen berkeliling mengikuti jalur yang telah disepakati dengan kelompok pengamen lainnya supaya mereka tidak bertemu di titik yang sama. Di dekat air mancur ada beberapa orang yang sibuk membawa hewan peliharaannya. Oh ternyata mereka komunitas penyayang hewan. 

Ada semangat dan ketenangan yang tidak dapat ditemukan selama perjalanan kami menuju sana. Ada kebahagiaan yang muncul dengan damai berputar-putar di udara. Taman itu seolah menjadi titik kunci bagi ruwetnya kehidupan di kota memusingkan itu. Saya tiba-tiba menemukan kesejukan yang entah berasal dari mana. Mungkin saja berasal dari abang-abang kue cubit yang mangkal di sana atau dari suara nyaring teriakan anak-anak yang berlarian di rumput. 

Bisa jadi, taman kota adalah salah satu bagian kota yang mempertahankan kewarasan warganya. Sejak itu, saya jadi yakin bahwa Jakarta tidak seburuk yang saya bayangkan sejak menemukan titik kewarasan paling damai di kota itu. 

6.10.2015

Kenapa Ya

Sejak ikut 31 Hari Menulis, aku sudah kena kapak bang Wiro dua kali. Iya dua kali! 40 ribu! Yang pertama karena ketiduran, yang kedua juga karena ketiduran. Intinya ketiduran karena nggak punya ide mau nulis apa lalu mikir lalu tidur lalu bangun sudah jam dua belas lewat beberapa menit. Ya nasib.

Baca-baca posting 31HariMenulis dua tahun lalu, rasanya aku jadi iri sendiri, sama diri sendiri. Kenapa ya bisa tiap hari nulis yang paling nggak ada idenya dikit gitu. Nah ini udah hari ke-20an eh tetep aja nggak ada ide apa gitu ya yang bikin pengen bisa nulis apa gitu. Kenapa ya? Apa karena sudah tua jadi otaknya tumpul? Atau karena otaknya udah dibagi-bagi buat mikirin yang lain, yang nggak-nggak juga? Kenapa ya?

Kayaknya aku butuh piknik gitu deh. Sering-sering aja butuh piknik. Gitu aja terus butuh piknik.

6.09.2015

Berenang di Mimpi

Beberapa waktu yang lalu saya tertawa sendiri ketika sedang melihat-lihat post instagram seorang teman. Di post itu, saya menjadi salah seorang yang di-tag. Kira-kira komentarnya begini, "ini pakai filter apa ya? kok airnya bisa biru banget gitu?" lalu komentar balasannya menyenangkan, "nggak pakai filter apa-apa kok, aslinya udah gini warnanya, coba googling teluk hijau." Saya sebenarnya nggak tau apa yang lucu, tapi saya merasa puas saja karena kadang-kadang jengah lihat orang yang fotonya kebanyakan filter sampai objek aslinya nggak kelihatan.


Ya kalau begitu pantainya, mau pake filter apa lagi coba. Hanya Tuhan yang bisa milihin filter kalau gitu sih. 

6.08.2015

Naik Gunung sambil Jogging

Saya paling lemah kalau diajak mendaki. Apapun yang menanjak. Apapun yang dilabeli bukit dan gunung. Saya paling lambat berlari, kecuali terancam. Dikejar anjing misalnya. 

Januari 2015 sudah tinggal remah-remah. Saya masih menarik nafas dalam-dalam sambil menikmati angin yang berhembus setelah naik gunung sambil jogging tahun kemarin. 

Ada jeda yang panjang setelah berlari sepanjang Januari hingga Desember tahun lalu. Saya sediakan jeda yang panjang. Jangan melipat kaki setelah berlari, nanti varises atau apa lah. Bisa jadi keluar pula urat-urat tak perlu dari kepala saya jika saya tak berhenti sejenak. 

Sebelum tahun 2014 berakhir, saya ingin sekali menulis bermacam ungkapan rasa syukur di manapun ketika Desember resmi ditutup. Bahkan saya sudah merencanakan untuk melompat, berteriak, dan mengetik semua selebrasi tersebut dengan huruf kapital. Namun ternyata, terdiam dan menyadari semuanya telah berakhir terasa lebih melegakan dibanding sorak sorai selebrasi sia-sia. Karena akhirnya, saya berhasil selamat melewati segala halangan, rintangan, duri-duri tajam, jalanan licin, dan semak belukar sepanjang tahun. Saya tak peduli bagaimana caranya semua itu terlewat, yang penting, terlalui dan saya selamat. Yang saya butuhkan hanyalah mengatur kembali nafas setelah lari terbirit-birit keliling pulau Jawa menerjang segalanya. 

Ah, tapi nampaknya saya perlu menulis sesuatu supaya tahun itu tidak hanya hilang seperti asap setelah saya membumihanguskannya. 

Tahun 2014 adalah tahun penuh kepastian. Setiap harinya terisi oleh hal-hal yang pasti harus saya lakukan. Setiap harinya terisi oleh tanggung jawab yang kadang bosan saya lakukan. Di setiap waktunya saya ketahui memiliki tantangan untuk ditaklukan. Yang akhirnya menjadikan saya bosan menghadapinya. Tahun yang penuh tantangan tapi monoton. Tahun yang mengubah saya seolah kuda. 

Ada hal-hal yang membuat saya sengaja mendaki gunung sambil jogging layaknya kuda. Ada hal-hal yang membuat saya terus melakukan itu semua. Namun, ada pula saat-saat ketika saya begitu tak memahami mengapa melakukan itu semua sambil tetap melakukannya. Ada obsesi untuk mengambil kemudi arah terhadap segalanya. Membuat saya tak mampu lagi memikirkan arah untuk diri sendiri. 

Tahun 2014 adalah saat di mana saya sama sekali tidak ingin menikmati waktu. Saya ingin semester empat berakhir. Saya ingin semester lima berakhir. Saya ingin tahun itu segera berakhir. Ada banyak momen yang tidak saya resapi kenikmatannya karena terlalu terburu-buru untuk membuatnya berakhir. 


Di tahun 2014 saya belajar untuk mempertahankan keinginan, memilah kepentingan, dan memperjuangkan kebutuhan. Saya juga belajar untuk mengubah apa yang seharusnya diubah dan juga berlatih untuk mengatakan apa yang seharusnya disuarakan meskipun kadang gagal lalu berakhir dengan gerutu tak berujung. Yang terpenting, saya belajar untuk mengukur kemampuan dan memperkirakan capaian apa lagi yang bisa diraih. 

sayangnya, saya terlalu lelah mendaki gunung sambil jogging dan membutuhkan jeda panjang untuk memulihkan nafas.

------------

Menemukan tulisan ini di draft post. Tidak terasa sudah pertengahan tahun 2015, dan ternyata kali ini saya seolah sedang glundung-glundung di pinggir pantai, menikmati sepoi angin, tak peduli pada dunia alih-alih jogging apalagi mendaki gunung.  






6.06.2015

Sedang sakit tapi tetap saja takut denda.

6.05.2015

Dari Progo

Saya tidak tahu bagaimana menyebut atau mengistilahkan Progo. Sebenarnya bisa sih, pusat alat rumah tangga? Supermarket yang menjual peralatan rumah tangga? Supermarket dengan foodcourt dan pusat peralatan rumah tangga? Bisa jadi. Terlalu panjang saja jika dijadikan judul.

Dari balik rak berisi gelas-gelas, ada kekhawatiran yang melayang-layang. Kekhawatiran yang sudah ada di luar kepala. Kekhawatiran yang sudah jadi semboyan hidup. Pecah berarti membeli. Ada suara-suara yang mendengungkan kalimat itu setiap kali rak-rak berisi benda pecah belah itu dilewati.

Ada seorang ibu yang sibuk memilih gelas mana yang akan ia beli. Selusin atau dua lusin? Yang tebal atau yang tipis? Kegamangannya diwakilkan oleh kesibukan petugas toko yang sibuk mengambil dus-dus gelas keinginan si Ibu.

Ada sepasang laki-laki dan perempuan muda yang melihat dari satu perangkat minum teh ke prangkat minum teh lainnya. Katanya, "yang ini lebih lucu," kepada perempuan. Entah siapa mereka. Mungkin saja sepasang kekasih. Mungkin saja pengantin baru. Bisa jadi kakak beradik yang disuruh ibunya. Bisa jadi hanya teman yang ingin membelikan teman lainnya.

Sendok-sendok sayur berbagai ukuran masih menggantung berjajar. Tidak terbayangkan betapa besar panci yang akan digunakan jika sendoknya sebesar itu. Ah, alat apa itu? Penjepit berbentuk aneh. Siapa kiranya yang akan menggunakannya.

6.04.2015

Dari Tempat Minum Kopi

Seorang pemuda sibuk dengan laptopnya, kekasihnya menunggu dengan setia di sampingnya. Kekasihnya, tipikal perempuan berambut panjang, beralis melengkung, berpenampilan ala wanita masa kini. Ia, kekasihnya, sedang sibuk menggenggam sebuah kamera kecil masa kini yang katanya bisa diajak menyelam, lalu di tangan lainnya, ia sibuk menyentuh-nyentuh telepon pintarnya yang tentu saja terlihat sangat keren jika dipakai untuk mirror selfie. Sejurus kemudian, ia meminta kekasihnya yang sibuk dengan laptop untuk menoleh dan tersenyum. "Sini dong sayang.. yang bagus dong senyumnya," katanya sambil mengangkat kamera kecil di tangannya. 

Di sudut lain, sepasang mahasiswa berkacamata membawa modul tebal-tebal, membuka laptop, mengetik. Terlihat anatomi salah satu bagian tubuh manusia. Sulit sepertinya. 

Ada pula, sekumpulan pemuda yang sedang berbincang hangat. Mau mengubah dunia katanya. Semoga rencananya terwujud. 

Sepasang pemuda pemudi masuk ke dalam, memesan secangkir cappucino dan segelas frappe dengan canggung. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mungkin serius. 

6.03.2015

Dari Toko Buku

"Cara sukses.."
"Rahasia sukses yang tidak pernah terungkap.."
"Trik Bisnis.....Cepat...Tanpa Pengorbanan.." 
"Cara Cepat..."
"Mengungkap Rahasia Kehidupan..."
"Kaya Raya Tanpa..."

Mereka membeli kekhawatirannya sendiri. 

Di Tikungan Jalan

Membaca posting saya tiga tahun lalu, saya menemukan pernayataan seorang anak kelas 3 SMA yang sedang galau akademik. Katanya, galau akademik adalah raja dari segala galau. Nggak dek, kamu lupa ya, kegiatan akademismu itu buat apa? Buat memperkuatmu dalam kehidupan ini, dek. Lalu sekarang saya sedang berada di fase galau kehidupan. Apa pula lah itu.

Tadi sore, saya bertemu teman di JDV. Katanya, "ngapain kamu di sini?" Mungkin jawabannya bisa sangat mudah "lagi rapat," atau "lagi kerja," tapi malah saya jawab "ngapain ya? Nongkrong. Biar gaul kaya anak dihital hehe."

Saat ini, ada ribuan teman saya yang bertanya pertanyaan semacam itu di kepala . Jawabannya pun sama, sekenanya. Seenaknya. Malas memikirkan jawaban.

Ada apa sih ini.

Rasanya lelah mengira - ngira apa yang ada di tikungan jalan. Rasanya begitu ngeri melihat dalamnya air di sebuah kolam. Rasanya lebih baik menaksir-naksir kedalaman air itu sambil duduk dan mengayukan kaki di pinggir kolam. Melihat air yang bergerak-gerak karena sepasang kaki yang mengayun terasa lebih lucu dibanding membenamkan seluruh tubuh ke dalamnya. Bisa saja, di dalam sana ada ikan berwarna-warni. Tidak mustahil juga kalau ternyata buaya bersembunyi di dalamnya. Atau mungkin, kalau kita bisa memijak dasarnya, ada pasir hisap yang membuatmu menghilang perlahan.

6.02.2015

Kisah Misteri

Bicara tentang kisah misteri tidak harus melulu tentang makhluk-makhluk berwajah mengerikan. Kisah misteri juga tidak harus selalu tentang suara-suara aneh yang tiba-tiba terdengar di tengah malam, bukan pula tentang tuyul yang mencuri uang tetangga. Kisah misteri juga bukan tentang kisah detektif yang menelusuri siapa pelaku pembunuhan sadis.

Kisah misteri paling mencekam bagi saya saat ini adalah kisah tentang masa depan. Kisah yang belum pernah diceritakan oleh siapapun, termasuk ahli kisah paling hebat di dunia ini. Setidaknya, tidak akan pernah ada sumber sahih yang bisa menceritakan masa depan di saat ini. Ya memang, Fujiko F. Fujio sudah menulis tentang masa depan berpuluh tahun lalu, Interstellar telah menjabarkan tentang apa yang sekirang bisa terjadi di masa yang akan datang, begitu pula Transcendence, Her, atau film-film lainnya. Tapi masa depan tetaplah misteri, karena apa yang kita bayangkan saat ini belum berarti benar adanya kan? 

Memikirkan masa depan memang akan selalu diiringi dengan kekhawatiran. Lihat saja, sebagian film yang bicara tentang masa depan akan berakhir dengan buruk, setidaknya manusia akan selalu berakhir tragis, atau akhirnya semua yang dikerjakan manusia mengalahkan diri mereka sendiri. Karena memang begitu, masa depan adalah kekhawatiran setiap manusia. Masa depan adalah kisah misteri yang tidak pernah berakhir adegan mencekamnya. Masa depan adalah apa yang tidak pernah terpikirkan dan akan terjadi pada saatnya.

----

Baru saja saya chat dengan teman. Bicara tentang kerupuk bantat dan kerupuk yang mengembang. Kerupuk itu adalah saya. Ada kekhawatiran tentang kerupuk yang bisa-bisa bantat karena tercelup di minyak dingin lebih lama dari yang lain. Tiba-tiba saja kekhawatiran itu meletup, bagaiamana jika kerupuknya gosong? Harusnya kerupuk dijemur lebih dulu supaya tidak bantat. Seolah minyak yang memercik setelah meletup, saya berpikir tentang bagaimana kerupuk itu bisa berkembang. Kerupuk itu harus segera diangkat dari wajannya saat ini, terlalu dini ia berenang di wajan itu. Kerupuk itu harus segera dipindah ke wajan yang lebih besar, lebih panas.

Apakah akan jadi kerupuk bantat atau jadi kerupuk yang mengembang kriuk-kriuk, itu adalah misteri. 

6.01.2015

Oh Jadi

Jogja-Pemalang-Jogja sangat melelahkan teman-teman :(

Search This Blog