11.24.2015

Kedatangan

Kemarin, saya bertemu dengan sekelompok mahasiswa dari universitas di kota tetangga yang akan segera berangkat ke Banda Neira untuk KKN. 

Pada menit pertama, tanpa banyak pertanyaan untuk dijawab, saya menumpahkan segalanya. Ingatan yang telah saya rekam seolah terputar begitu saja di kepala. Sejak kisah panjang yang saya kicaukan itu, saya menyadari, bahwa ternyata saya rindu tempat itu, saya jatuh cinta pada dalamnya lautan Banda, dan mungkin sebagian dari diri saya tertinggal di sana. Hampir tiga jam saya bercerita panjang tentang tempat itu. Tempat yang jauhnya delapan jam perjalanan dari Ambon menggunakan Kapal Pelni, empat jam menggunakan kapal cepat, dan satu jam menggunakan pesawat perintis. Tempat yang wangi rempahnya telah bercampur menjadi kehangatan. Tempat yang baru saja saya cari di Google Maps untuk kesekian kalinya dan tetap tidak terlihat jika tidak diperbesar sebanyak tiga kali. 

Baru saja, saya tertawa di depan laptop sambil mengerutkan kening. Bagaimana bisa saya mencapai tempat yang mungkin sebagian besar orang di dunia ini tidak pernah menyadari ada daratan di sana. Di tengah lautan, di tenggara Pulau Ambon. Masih terheran-heran, bagaimana ada manusia yang tinggal di sana dan saya mengenal mereka. Kepulauan sekecil itu. 

Pantas saja, ada lebih banyak orang yang berpikir tentang duo Ananda Badudu dan Rara Sekar ketimbang kepulauan ketika saya menjawab "Banda Neira" untuk pertanyaan "KKN di mana?" Yang merasa tau tempat itu, tenang saja. Persentase golongan kalian juga masih banyak, tapi yang berkomentar "hah? emangnya nama band?" juga tidak sedikit. Maka, sebagai usaha untuk memperbanyak golongan yang mengenal Kepulauan Banda Neira, biarkan saya bercerita tentang tempat penuh kisah itu. 

Banda Neira adalah bagian yang tidak mungkin hilang dari rangkaian sejarah panjang penjajahan bangsa barat di negeri kita. Adalah aroma pala dari Banda, salah satu faktor yang mengundang bangsa barat untuk singgah dan menetap di negeri kita. Bahkan, P. Run, salah satu pulau di Banda Neira, pernah ditukar gulingkan dengan Manhattan, New York oleh Inggris dan Belanda. Secara tidak langsung, kepulauan ini punya andil besar terhadap hadirnya kota metropolitan tempat sebagian besar orang berpaling saat ini. Sungguh sebuah ironi ketika banyak orang mengenal New York dan sebagian besar dari mereka tidak tahu pasti di mana Banda Neira. 


Ketika kali pertama kapal mendekat ke P. Run, pulau terdepan di Banda Neira, saya sudah mulai berbinar-binar. Akhirnya, setelah tiga hari perjalanan panjang penuh perjuangan kami sampai juga di sini, pikir saya. Kemudian, dengan mata yang berbinar, saya pun ternganga, beberapa lumba-lumba melompat di lautan. Saya tak menyangka, begitu cepatnya kah lumba-lumba menyapa kami. Saya tak menyangka, kebahagiaan bisa sedini itu diapatkan bahkan sebelum menginjakan kaki di daratannya. 

Tibalah saatnya kami melintasi sebuah selat kecil di antara Pulau Neira dan Gunung Api Banda, tandanya waktu merapat sudah semakin dekat. Hiruk pikuk manusia di dalam Kapal Tidar menjadi semakin ramai, riuh, nampak kacau. Beberapa mulai bersiap mengangkat, menggendong, memanggul, dan segala kata kerja yang bisa berarti membawa bawaan masing-masing. Tiba saatnya tangga kapal diturunkan, keramaian makin meningkat, kuli kapal berlarian, logat Banda terdengar semakin kuat di setiap sudut. Sampailah kami di Pulau Neira dengan segala kekacauan khas angkutan mudik lebaran. 

Setelah hiruk-pikuk pelabuhan dan usaha menurunkan seluruh barang dengan susah payah, akhirnya kami menginjakan kaki di Pulau Neira disambut dengan suara petasan yang menjadi soundtrack bulan Ramadhan. Pulau ini menjadi pusat di Banda Neira, di mana pasar yang menyediakan segala jenis kebutuhan berjalan. Pulau yang dua bulan kemudian saya cintai dengan sepenuh hati beserta isinya. Saya tidak sedang membual, hanya ada dua kemungkinan, saya benar-benar mencintainya atau saya hanyalah orang asing ngehek yang terlalu kagum pada sudut lain Indonesia. Yang jelas, hingga saat ini, saya merindukan tempat itu dan masih terus membayangkan rasanya berjalan ke seluruh penjuru pulau sebelum tidur.














10.14.2015

Jikalau

Hari ini saya pergi ke pemakaman.

Malam sebelumnya, saya kebingungan. Ada sesal yang bercampur dengan keterkejutan. Ada ragu dan kebimbangan. Saya mengenalnya, tapi juga tidak. Saya punya relasi dengannya, tapi tak tergambarkan.

Adalah sebuah pentas teater yang menjadi persimpangan bagi kami. Saya di panggung, ia menonton. Esok harinya, saya menemukan seseorang me-mention akun saya di Twitter. Sebuah pujian.

Kala itu saya hanya bisa membalas dengan senang hati. Dilanjutkan dengan sedikit obrolan di lini masa. Berakhir di situ. Saya ingin tahu siapa dia.

Hari terus berjalan, lini masa makin ramai. Terkadang kami bersua di topik yang sama. Terkadang ada tanya jawab. Terkadang saya membaca kicauannya, semuanya. Menarik.

Ingin tahu lebih lanjut, saya seringkali singgah di lini masanya. Klik sana sini, menemukan tulisan tulisannya. Saya ingin berteman dengannya, pikir saya kala itu.

Tahun berganti, tidak ada yang terjadi. Sesekali saya melihatnya mengayuh sepeda di sekitar kampus. Hingga akhirnya, beberapa waktu terakhir, ia berteman dengan salah seorang sahabat saya. Katanya, ia mengingat saya. Sekali saya diajak pergi bersamanya, tapi saya ada urusan lain.

Pernah sekali saya tak sengaja bersua dengannya di sebuah kedai kopi. Ingin menyapa, tapi malu.
Terakhir, saya berjalan di belakangnya. Ia menuntun sepeda. Ia melihat saya, saya pun. Ingin menyapa, tapi malu. Nanti saja, kalau ada kesempatan lebih tepat. Nanti saja, di acara lain pasti berjumpa. Nanti saja.

Hari ini saya menyapanya. Di pemakamannya.

Saya ingin berteman dengannya. Pun tak pernah terjadi karena saya terus menunda. Nanti saja.

Selamat jalan mas Pandu Perdana Putra. Terima kasih pernah membuat lini masa saya menjadi menyenangkan. Saya suka tulisan-tulisanmu. Ada suatu masa ketika saya merasa sangat mengenalmu. Maaf saya terlalu banyak malu hingga berteman sungguhan pun tak bisa. Selamat telah menjadi golongan yang beruntung karena mati muda!

Semoga bahagia di sana :)


6.19.2015

Hore!

Menulis posting ini dapat diibaratkan seperti sedang berbuka puasa. Lega. Akhirnya. Alhamdulillah. 

Ada pelajaran yang saya petik dari ikut 31 Hari Menulis tahun ini, jika merasa tidak mampu, ya sudah. Namun, saya tetap bersyukur ikut 31 Hari Menulis yang hebat ini karena kalau tidak ikut saya tidak akan pernah paham kalau saya tidak sehebat yang saya pikirkan. Rasa-rasanya masih harus banyak belajar supaya bisa menulis dengan baik apalagi sepertinya tulisan saya makin tidak bermutu dari hari ke hari. Sering-seringnya saya ngantuk, tidak unya ide, malas ngetik, pusing, dan akhirnya ngepost satu kalimat yang intinya sama "tolong jangan didenda."

Di tahun ini saya dapat empat kapak Bang Wiro. Sudah cukup membuat saya sedih lantaran biaya hidup semakin tinggi menjelang KKN. Tapi tidak apa, bang. Saya kini menyadari bahwa saya harus banyak berbenah dan sering-sering menulis lagi. Terima kasih, Bang, berkat jasamu kini saya bertekad untuk bisa menulis tanpa perlu diawasi Abang lagi.

Muah. Aku sayang abang Wiro.

6.16.2015

zzzzzzz

bzzzz...bzzzz...bzzzz
bz.
bz.
bz.

rrrrr...
rrrr.....
r,,,,

khhhhh....
kh.
kh.

there's insufficient storage in my brain.

6.15.2015

Kenyataan

Ada yang bilang sekarang kita punya dua dunia. Online dan Offline. Tau tidak apa bedanya? Bedanya, di dunia nyata kita tidak bisa mendelete begitu saja orang-orang di sekitar kita. Matilah itu semboyan my account my rules. Di dunia nyata, tidak ada itu cerita seseorang tiba-tiba suaranya tidak bisa didengar sama sekali oleh kita karena sebenci-bencinya saya sama orang tetap saja kalau ia bicara sekecil apapun di dekat saya pasti terasa. Di dunia maya hidup lebih ringkas, jengah dengan si A, matikan saja aliran informasi darinya di media sosial kita, done! 

Andai saja hidup di dunia nyata semudah menekan-nekan tombol seperti di dunia maya, saya tidak tahu lagi bagaimana nasib mereka. Mereka yang terkadang ingin saya tekan hidungnya dan segera menghilang dari pandangan saya. Saya juga bisa memilih harus mendengarkan siapa dan membuat senyap beberapa orang. 

Sayangnya, hidup tidak semudah di dunia maya. Sayangnya. 

6.14.2015

Menunggu Kereta

"Kereta Prameks tujuan Yogyakarta akan segera datang dari arah timur menuju jalur tiga," begitu kata-kata petugas peron yang terdengar di seluruh stasiun. Puluhan orang bergegas melompati jalur empat dan berjajar di belakang garis kuning menunggu dan bersiap untuk melompat ke atas kereta.

Saya dan Diah berjalan santai mengikuti orang-orang yang berkumpul di sepanjang garis kuning itu. Kami berdiri di sebelah seorang bapak berkumis yang menggendong tas besar di punggungnya.

"Prameks ini sampai mana ya berhentinya?" tanyanya tiba-tiba

"Stasiun Tugu aja pak"

"Oh, ga sampai purwokerto dan selanjutnya? Balik lagi gitu?"

"Iya pak"

Setelah menanyakan beberapa hal lagi, si Bapak kemudian bertanya lagi, "kuliah di mana?"

"UGM, pak"

"Jurusan apa?"

"Komunikasi"

"Ooooh"

"Kalau teknik elektro UGM itu bagus nggak sih?"

"Bagus kok, pak, favorit juga"

"Oh gitu ya, soalnya anak saya keterima di teknik elektro UGM"

"Oh bagus dong, pak, banyak saingannya juga pas masuk"

"Iya, anak saya itu keterima di teknik elektro UGM, teknik mesin UI, terus tambang dan minyak ITB. Eh, anak saya pilih ITB-nya aja"

".....ooh"

"Kalau liat anak-anak kaya kalian gini saya jadi ingat sama anak saya, kaya gini juga lah anak saya"

Kemudian kereta datang dan kami melompat ke atas kereta.

Bapaknya ini humblebrag abis. Anaknya kalo nggak pinter banget bisa dibilang apa ya itu..... tapi ya gitu... namanya juga orangtua yang sudah terlanjur bangga, mau gimana lagi :")

Halo mbak atau mas yang kuliah di ITB itu, mungkin kamu nggak sadar kalau ayahmu begitu bangga sama kamu. Sampai-sampai beliau bisa tiba-tiba inget kamu dan cerita tentang kamu ke orang asing seperti tadi siang. Disayang terus ya bapaknya, mbak dan mas :)

6.13.2015

Hehe

Sekarang saya sedang di Solo, numpang menginap di rumah teman setelah nonton Sore. 

Karena lapar, kami makan di tempat yang disebut angkringan. Tapi bingung sekali pesan di sini, baru mau pesan penjualnya bilang "sabar yo mbak" kemudian saya bingung sendiri, kok ibunya marah marah. Ternyata memang begitu. gatau kenapa. Ini ngetiknya pake hp diah, susah.

6.11.2015

Pada Suatu Sore

Keberadaan taman kota sudah lama diidam-idamkan oleh masyarakat Jogja. Kira-kira sekitar tiga tahun yang lalu, ketika kota-kota lain berbenah dengan taman kota dan ruang terbuka hijau mereka, warga Jogja mulai gelisah. Bersamaan dengan itu, taman kota di Jogja tak terlihat lagi perkembangan dan pertambahannya.


Saya penyuka taman, karena sejak kecil saya hobi sekali naik sepeda ke taman dalam kompleks dan bermain di sana bersama teman-teman. Tertusuk duri, daun, dan tersengat lebah adalah cerita menarik lainnya. Sejak pindah ke Jogja, taman kota yang bisa dibuat berlarian, main petak umpet, dan dikelilingi naik sepeda tak pernah terlihat. Sejak itu pula saya mafhum bahwa Jogja memang tidak punya tempat semacam itu, dan ya sudahlah pikir saya. Pun sampai ketika banyak orang mulai menginginkan taman kota di Jogja saya pun hanya bersikap biasa saja sambil, “oh iya, memang butuh taman kota ya.” 

Hingga akhirnya, pada suatu sore di Jakarta saya dan Mbak Lintang yang tidak tahu bepergian entah ke mana memutuskan untuk pergi ke Taman Suropati. Agak rumit memang menuju taman itu tanpa kendaraan pribadi. Naik bis ini dan itu nyambung ke sana ke mari dan turun di sebuah persimpangan jalan hingga akhirnya berjalan kaki. Kami berjalan kaki melewati kawasan rumah-rumah elite para duta besar. Jalanan tidak begitu ramai, ada sedikit ketenangan di sekitar sana. 

Awalnya kami pikir, apa sih yang mau dilihat di taman. Hingga akhirnya, saya duduk di tengahnya. Melihat banyak orang yang begitu bersemangat melakukan ini dan itu di tengah taman kota. Ada beberapa anak yang berlarian di taman sambil meniup gelembung sabun. Ada pula pasangan muda yang mendorong bersama kereta dorong bayinya. Sekelompok pengamen berkeliling mengikuti jalur yang telah disepakati dengan kelompok pengamen lainnya supaya mereka tidak bertemu di titik yang sama. Di dekat air mancur ada beberapa orang yang sibuk membawa hewan peliharaannya. Oh ternyata mereka komunitas penyayang hewan. 

Ada semangat dan ketenangan yang tidak dapat ditemukan selama perjalanan kami menuju sana. Ada kebahagiaan yang muncul dengan damai berputar-putar di udara. Taman itu seolah menjadi titik kunci bagi ruwetnya kehidupan di kota memusingkan itu. Saya tiba-tiba menemukan kesejukan yang entah berasal dari mana. Mungkin saja berasal dari abang-abang kue cubit yang mangkal di sana atau dari suara nyaring teriakan anak-anak yang berlarian di rumput. 

Bisa jadi, taman kota adalah salah satu bagian kota yang mempertahankan kewarasan warganya. Sejak itu, saya jadi yakin bahwa Jakarta tidak seburuk yang saya bayangkan sejak menemukan titik kewarasan paling damai di kota itu. 

6.10.2015

Kenapa Ya

Sejak ikut 31 Hari Menulis, aku sudah kena kapak bang Wiro dua kali. Iya dua kali! 40 ribu! Yang pertama karena ketiduran, yang kedua juga karena ketiduran. Intinya ketiduran karena nggak punya ide mau nulis apa lalu mikir lalu tidur lalu bangun sudah jam dua belas lewat beberapa menit. Ya nasib.

Baca-baca posting 31HariMenulis dua tahun lalu, rasanya aku jadi iri sendiri, sama diri sendiri. Kenapa ya bisa tiap hari nulis yang paling nggak ada idenya dikit gitu. Nah ini udah hari ke-20an eh tetep aja nggak ada ide apa gitu ya yang bikin pengen bisa nulis apa gitu. Kenapa ya? Apa karena sudah tua jadi otaknya tumpul? Atau karena otaknya udah dibagi-bagi buat mikirin yang lain, yang nggak-nggak juga? Kenapa ya?

Kayaknya aku butuh piknik gitu deh. Sering-sering aja butuh piknik. Gitu aja terus butuh piknik.

6.09.2015

Berenang di Mimpi

Beberapa waktu yang lalu saya tertawa sendiri ketika sedang melihat-lihat post instagram seorang teman. Di post itu, saya menjadi salah seorang yang di-tag. Kira-kira komentarnya begini, "ini pakai filter apa ya? kok airnya bisa biru banget gitu?" lalu komentar balasannya menyenangkan, "nggak pakai filter apa-apa kok, aslinya udah gini warnanya, coba googling teluk hijau." Saya sebenarnya nggak tau apa yang lucu, tapi saya merasa puas saja karena kadang-kadang jengah lihat orang yang fotonya kebanyakan filter sampai objek aslinya nggak kelihatan.


Ya kalau begitu pantainya, mau pake filter apa lagi coba. Hanya Tuhan yang bisa milihin filter kalau gitu sih. 

6.08.2015

Naik Gunung sambil Jogging

Saya paling lemah kalau diajak mendaki. Apapun yang menanjak. Apapun yang dilabeli bukit dan gunung. Saya paling lambat berlari, kecuali terancam. Dikejar anjing misalnya. 

Januari 2015 sudah tinggal remah-remah. Saya masih menarik nafas dalam-dalam sambil menikmati angin yang berhembus setelah naik gunung sambil jogging tahun kemarin. 

Ada jeda yang panjang setelah berlari sepanjang Januari hingga Desember tahun lalu. Saya sediakan jeda yang panjang. Jangan melipat kaki setelah berlari, nanti varises atau apa lah. Bisa jadi keluar pula urat-urat tak perlu dari kepala saya jika saya tak berhenti sejenak. 

Sebelum tahun 2014 berakhir, saya ingin sekali menulis bermacam ungkapan rasa syukur di manapun ketika Desember resmi ditutup. Bahkan saya sudah merencanakan untuk melompat, berteriak, dan mengetik semua selebrasi tersebut dengan huruf kapital. Namun ternyata, terdiam dan menyadari semuanya telah berakhir terasa lebih melegakan dibanding sorak sorai selebrasi sia-sia. Karena akhirnya, saya berhasil selamat melewati segala halangan, rintangan, duri-duri tajam, jalanan licin, dan semak belukar sepanjang tahun. Saya tak peduli bagaimana caranya semua itu terlewat, yang penting, terlalui dan saya selamat. Yang saya butuhkan hanyalah mengatur kembali nafas setelah lari terbirit-birit keliling pulau Jawa menerjang segalanya. 

Ah, tapi nampaknya saya perlu menulis sesuatu supaya tahun itu tidak hanya hilang seperti asap setelah saya membumihanguskannya. 

Tahun 2014 adalah tahun penuh kepastian. Setiap harinya terisi oleh hal-hal yang pasti harus saya lakukan. Setiap harinya terisi oleh tanggung jawab yang kadang bosan saya lakukan. Di setiap waktunya saya ketahui memiliki tantangan untuk ditaklukan. Yang akhirnya menjadikan saya bosan menghadapinya. Tahun yang penuh tantangan tapi monoton. Tahun yang mengubah saya seolah kuda. 

Ada hal-hal yang membuat saya sengaja mendaki gunung sambil jogging layaknya kuda. Ada hal-hal yang membuat saya terus melakukan itu semua. Namun, ada pula saat-saat ketika saya begitu tak memahami mengapa melakukan itu semua sambil tetap melakukannya. Ada obsesi untuk mengambil kemudi arah terhadap segalanya. Membuat saya tak mampu lagi memikirkan arah untuk diri sendiri. 

Tahun 2014 adalah saat di mana saya sama sekali tidak ingin menikmati waktu. Saya ingin semester empat berakhir. Saya ingin semester lima berakhir. Saya ingin tahun itu segera berakhir. Ada banyak momen yang tidak saya resapi kenikmatannya karena terlalu terburu-buru untuk membuatnya berakhir. 


Di tahun 2014 saya belajar untuk mempertahankan keinginan, memilah kepentingan, dan memperjuangkan kebutuhan. Saya juga belajar untuk mengubah apa yang seharusnya diubah dan juga berlatih untuk mengatakan apa yang seharusnya disuarakan meskipun kadang gagal lalu berakhir dengan gerutu tak berujung. Yang terpenting, saya belajar untuk mengukur kemampuan dan memperkirakan capaian apa lagi yang bisa diraih. 

sayangnya, saya terlalu lelah mendaki gunung sambil jogging dan membutuhkan jeda panjang untuk memulihkan nafas.

------------

Menemukan tulisan ini di draft post. Tidak terasa sudah pertengahan tahun 2015, dan ternyata kali ini saya seolah sedang glundung-glundung di pinggir pantai, menikmati sepoi angin, tak peduli pada dunia alih-alih jogging apalagi mendaki gunung.  






6.06.2015

Sedang sakit tapi tetap saja takut denda.

6.05.2015

Dari Progo

Saya tidak tahu bagaimana menyebut atau mengistilahkan Progo. Sebenarnya bisa sih, pusat alat rumah tangga? Supermarket yang menjual peralatan rumah tangga? Supermarket dengan foodcourt dan pusat peralatan rumah tangga? Bisa jadi. Terlalu panjang saja jika dijadikan judul.

Dari balik rak berisi gelas-gelas, ada kekhawatiran yang melayang-layang. Kekhawatiran yang sudah ada di luar kepala. Kekhawatiran yang sudah jadi semboyan hidup. Pecah berarti membeli. Ada suara-suara yang mendengungkan kalimat itu setiap kali rak-rak berisi benda pecah belah itu dilewati.

Ada seorang ibu yang sibuk memilih gelas mana yang akan ia beli. Selusin atau dua lusin? Yang tebal atau yang tipis? Kegamangannya diwakilkan oleh kesibukan petugas toko yang sibuk mengambil dus-dus gelas keinginan si Ibu.

Ada sepasang laki-laki dan perempuan muda yang melihat dari satu perangkat minum teh ke prangkat minum teh lainnya. Katanya, "yang ini lebih lucu," kepada perempuan. Entah siapa mereka. Mungkin saja sepasang kekasih. Mungkin saja pengantin baru. Bisa jadi kakak beradik yang disuruh ibunya. Bisa jadi hanya teman yang ingin membelikan teman lainnya.

Sendok-sendok sayur berbagai ukuran masih menggantung berjajar. Tidak terbayangkan betapa besar panci yang akan digunakan jika sendoknya sebesar itu. Ah, alat apa itu? Penjepit berbentuk aneh. Siapa kiranya yang akan menggunakannya.

6.04.2015

Dari Tempat Minum Kopi

Seorang pemuda sibuk dengan laptopnya, kekasihnya menunggu dengan setia di sampingnya. Kekasihnya, tipikal perempuan berambut panjang, beralis melengkung, berpenampilan ala wanita masa kini. Ia, kekasihnya, sedang sibuk menggenggam sebuah kamera kecil masa kini yang katanya bisa diajak menyelam, lalu di tangan lainnya, ia sibuk menyentuh-nyentuh telepon pintarnya yang tentu saja terlihat sangat keren jika dipakai untuk mirror selfie. Sejurus kemudian, ia meminta kekasihnya yang sibuk dengan laptop untuk menoleh dan tersenyum. "Sini dong sayang.. yang bagus dong senyumnya," katanya sambil mengangkat kamera kecil di tangannya. 

Di sudut lain, sepasang mahasiswa berkacamata membawa modul tebal-tebal, membuka laptop, mengetik. Terlihat anatomi salah satu bagian tubuh manusia. Sulit sepertinya. 

Ada pula, sekumpulan pemuda yang sedang berbincang hangat. Mau mengubah dunia katanya. Semoga rencananya terwujud. 

Sepasang pemuda pemudi masuk ke dalam, memesan secangkir cappucino dan segelas frappe dengan canggung. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mungkin serius. 

6.03.2015

Dari Toko Buku

"Cara sukses.."
"Rahasia sukses yang tidak pernah terungkap.."
"Trik Bisnis.....Cepat...Tanpa Pengorbanan.." 
"Cara Cepat..."
"Mengungkap Rahasia Kehidupan..."
"Kaya Raya Tanpa..."

Mereka membeli kekhawatirannya sendiri. 

Di Tikungan Jalan

Membaca posting saya tiga tahun lalu, saya menemukan pernayataan seorang anak kelas 3 SMA yang sedang galau akademik. Katanya, galau akademik adalah raja dari segala galau. Nggak dek, kamu lupa ya, kegiatan akademismu itu buat apa? Buat memperkuatmu dalam kehidupan ini, dek. Lalu sekarang saya sedang berada di fase galau kehidupan. Apa pula lah itu.

Tadi sore, saya bertemu teman di JDV. Katanya, "ngapain kamu di sini?" Mungkin jawabannya bisa sangat mudah "lagi rapat," atau "lagi kerja," tapi malah saya jawab "ngapain ya? Nongkrong. Biar gaul kaya anak dihital hehe."

Saat ini, ada ribuan teman saya yang bertanya pertanyaan semacam itu di kepala . Jawabannya pun sama, sekenanya. Seenaknya. Malas memikirkan jawaban.

Ada apa sih ini.

Rasanya lelah mengira - ngira apa yang ada di tikungan jalan. Rasanya begitu ngeri melihat dalamnya air di sebuah kolam. Rasanya lebih baik menaksir-naksir kedalaman air itu sambil duduk dan mengayukan kaki di pinggir kolam. Melihat air yang bergerak-gerak karena sepasang kaki yang mengayun terasa lebih lucu dibanding membenamkan seluruh tubuh ke dalamnya. Bisa saja, di dalam sana ada ikan berwarna-warni. Tidak mustahil juga kalau ternyata buaya bersembunyi di dalamnya. Atau mungkin, kalau kita bisa memijak dasarnya, ada pasir hisap yang membuatmu menghilang perlahan.

6.02.2015

Kisah Misteri

Bicara tentang kisah misteri tidak harus melulu tentang makhluk-makhluk berwajah mengerikan. Kisah misteri juga tidak harus selalu tentang suara-suara aneh yang tiba-tiba terdengar di tengah malam, bukan pula tentang tuyul yang mencuri uang tetangga. Kisah misteri juga bukan tentang kisah detektif yang menelusuri siapa pelaku pembunuhan sadis.

Kisah misteri paling mencekam bagi saya saat ini adalah kisah tentang masa depan. Kisah yang belum pernah diceritakan oleh siapapun, termasuk ahli kisah paling hebat di dunia ini. Setidaknya, tidak akan pernah ada sumber sahih yang bisa menceritakan masa depan di saat ini. Ya memang, Fujiko F. Fujio sudah menulis tentang masa depan berpuluh tahun lalu, Interstellar telah menjabarkan tentang apa yang sekirang bisa terjadi di masa yang akan datang, begitu pula Transcendence, Her, atau film-film lainnya. Tapi masa depan tetaplah misteri, karena apa yang kita bayangkan saat ini belum berarti benar adanya kan? 

Memikirkan masa depan memang akan selalu diiringi dengan kekhawatiran. Lihat saja, sebagian film yang bicara tentang masa depan akan berakhir dengan buruk, setidaknya manusia akan selalu berakhir tragis, atau akhirnya semua yang dikerjakan manusia mengalahkan diri mereka sendiri. Karena memang begitu, masa depan adalah kekhawatiran setiap manusia. Masa depan adalah kisah misteri yang tidak pernah berakhir adegan mencekamnya. Masa depan adalah apa yang tidak pernah terpikirkan dan akan terjadi pada saatnya.

----

Baru saja saya chat dengan teman. Bicara tentang kerupuk bantat dan kerupuk yang mengembang. Kerupuk itu adalah saya. Ada kekhawatiran tentang kerupuk yang bisa-bisa bantat karena tercelup di minyak dingin lebih lama dari yang lain. Tiba-tiba saja kekhawatiran itu meletup, bagaiamana jika kerupuknya gosong? Harusnya kerupuk dijemur lebih dulu supaya tidak bantat. Seolah minyak yang memercik setelah meletup, saya berpikir tentang bagaimana kerupuk itu bisa berkembang. Kerupuk itu harus segera diangkat dari wajannya saat ini, terlalu dini ia berenang di wajan itu. Kerupuk itu harus segera dipindah ke wajan yang lebih besar, lebih panas.

Apakah akan jadi kerupuk bantat atau jadi kerupuk yang mengembang kriuk-kriuk, itu adalah misteri. 

6.01.2015

Oh Jadi

Jogja-Pemalang-Jogja sangat melelahkan teman-teman :(

5.31.2015

Better Than You Think

Setelah melangkah begitu jauh dan kembali berhenti, rasanya seperti tidak pernah melakukan apa-apa. Ada saat-saat yang membuat saya terus berpikir demikian. Pikiran-pikiran tentang sudah melangkah ke mana saja. Langkah-langkah yang kemudian saya lupakan dan anggap tidak pernah ada. Ingatan pendek itu kemudian membawa saya kepada renungan-renungan penuh penyesalan nan menyesakan bak manusia yang tak pernah bergeser ke manapun dalam hidupnya. Bertingkah seolah kehidupan telah berhenti sekian lama karena saya diamkan begitu saja

Seakan manusia putus asa, saya terdiam sambil meneriakan keluhan ke sana kemari. Teriakan-teriakan yang membuat kehidupan makin terasa menyedihkan. Saya pikir bisa tersenyum sambil berteriak seperti orang linglung macam itu. Saya pikir begitu. Kenyataannya, tidak lebih baik. 

Saya sering menemukan letupan-letupan keterkejutan terhadap langkah-langkah yang telah saya capai setelah sekian lama meneriakan keluhan. Pada suatu saat saya pernah tersenyum senang karena ternyata saya mampu menciptakan sesuatu yang ternyata lebih hebat dari perkiraan saya sendiri. Pikiran-pikiran saya terkadang mementahkan apa yang sudah saya susun dan bangun bagi diri sendiri. Selalu berpikir remeh temeh tentang diri sendiri padahal itu sudah lebih baik dari apa yang saya harapkan dan impikan. 

Kadang-kadang karena terlalu lelah, apa saja bisa menjadi sulit. Hal yang harusnya biasa menjadi sulit sekali dikerjakan. Seolah diri ini tidak punya kemampuan apa-apa. Seolah saya ini lemah tak berdaya. Lalu saya hanya bisa menangis sendiri, bertanya-tanya bagaimana caranya menyelamatkan diri. Ternyata, jawabannya mudah. Tidak perlulah terisak-isak merutuki langkah-langkah yang dianggap tak pernah ada. Sesungguhnya langkah-langkah yang terlupakan itu hanya perlu diurutkan lagi jejaknya maka yang sulit-sulit itu bisa menjadi mudah lagi. Yang kedua tidak pernah lebih sulit dari yang pertama, karena pernah melakukan hal yang sama. Jika sudah melakukan itu, kekhawatiran-kekhawatiran yang telah lalu tidak akan ada artinya. Lalu kemudian saya bertanya-tanya sejak kapan bisa melakukan ini dan itu. Oh ternyata, saya terlalu lama melupakan diri sendiri, terlalu lama melupakan apa yang sudah saya kerjakan, terlalu lama meremehkan diri sendiri. 

Yang tidak boleh itu menjadi sombong, tapi jangan sampai melupakan apa yang bisa dilakukan diri sendiri. Saya baru menyadari bahwa terlalu sering merendahkan diri sendiri membuat saya menjadi remeh temeh karena ternyata saya bisa melakukan banyak hal dengan lebih baik dari yang saya kira. Kemudian letupan keterkejutan itu hadir lagi, terharu, mengapa bisa semudah itu. Yang tidak boleh itu menjadi sombong, tapi jangan lupa bersyukur dan memperkuat diri sendiri. 

5.30.2015

Sepiring Tulisan

Saya berniat nulis panjang, tapi lapar. Gimana dong.

5.29.2015

Kembang Desa

Hari ini pergi ke Minomartani the Metropolitan untuk mengambil monitor-monitor dan PC di "kantor" atau sebuah markas berisi banyak orang di depan komputer. Saya dan dua orang lainnya mengangkutnya ke "kantor baru" kami. Ya ya ya dan begitulah.

Pada intinya, saya akhirnya dikembalikan oleh Raro ke tempat saya semula bersama dengan Yuga. Karena Yuga tidak membawa kendaraan, akhirnya ia pulang ke kosannya bersama saya. Di tengah perjalanan pulang Yuga berbelok ke arah lain dari lokasi kosnya.

"ke mana?" tanya saya. 

"Beli susu dulu ya," jawabnya

"Emang di sini ada yang jual susu?"

"Ada, susu kembang desa," ujarnya santai

"Hah? Apaan sih. Serius itu namanya?" mabok lagi nih si Yuga, omongannya emang sering ga bener, pikir saya. 

"Hahaha nggak, itu bikin sendiri namanya, mbaknya yang jual sering pake celana gemes, gitu deh kaya kembang desa"

"what the f"

"liat aja sendiri nanti."

Dan benar saja.. ketika baru saja memarkir motor di depan gerobak susu itu, Yuga berkata, "bener ga?" dan saya hanya bisa tersenyum geli dan mengiyakan. 

Kalau mbaknya disebut kembang desa, saya tidak bisa lebih dari setuju. Memang sih, hari ini si mbak tidak pakai celana gemes seperti kata Yuga, tapi ia sudah cukup cetar sebagai seorang penjual susu. Alisnya terlukis dengan rapi, seperti mbak-mbak beralis masa kini. Wajahnya mulus, rajin facial mungkin? Giginya berbehel biru muda. Sangatlah gaul dan cocok diberi predikat kembang desa.

Di perjalanan pulang Yuga menambahkan keterangan, "biasanya mbaknya muter lagu top 40, terus sambil nyanyi." Saya hanya bisa manggut-manggut, sambil berpikir kapan saya akan iseng mampir beli susu di mbak kembang desa.  


5.28.2015

Kanan dan Kiri

Coba ingat-ingat, sudah berapa kali kamu harus memilih dalam hari ini. Pilihan apa saja, sesepele mau memilih es jeruk atau es teh.

Coba saya ingat-ingat saya harus membuat berapa pilihan hari ini. Saya sudah lupa. Terlalu banyak pilihan yang harus saya buat dalam sehari. Pun begitu seharusnya orang normal. Memilih bangun sekarang atau nanti, memilih masuk kuliah atau tidak, memilih mengisi presensi atau tidak, memilih duduk di mana, memilih makan apa, memilih pulang kapan, memilih naik apa, memilih pergi atau tidak. Bersama dengan itu pembuatan keputusan pasti akan datang. Itu artinya, saya pasti mengambil keputusan setiap hari, berpuluh kali. Pun manusia yang lainnya. 

Sebuah kebiasaan yang tidak tersadari. Sebuah kebiasaan yang jika diminta sangat sulit melakukannya. Memilih. Membuat keputusan. Sulit. 

Saya butuh banyak waktu untuk membuat keputusan. Saya sering sekali berubah pilihan. Saya bisa geser ke kanan ke kiri untuk memutuskan menggunakan toilet yang mana di kampus. Saya bisa bilang "cabe lima, eh enam, eh lima aja," pada penjual ayam geprek. Saya sangat lambat untuk memutuskan hal-hal besar, yang menyangkut diri saya sendiri. Saya sering menyesal setelah membuat keputusan. 

Ceritanya saya sedang curhat. Hari ini banyak pilihan. Besok banyak pilihan. Kemarin banyak pilihan. Makanya, saya tidak suka pergi ke tempat makan yang banyak pilihan, bikin susah.

5.27.2015

High

Ada hari-hari yang terasa begitu ringan. Ada hari-hari yang terasa begitu berat hingga ingin segera diselesaikan. Ada hari-hari yang seperti ini. Hari yang terasa begitu terbang, melayang, tidak berdasar, dan terasa tidak berarti. Hari yang seperti ini, yang terasa seperti kosong padahal berisi. Hari yang seperti ini, yang membuat seisinya menjadi tembus pandang. Hari yang seperti ini, yang adegan-adegannya terasa begitu membosankan meskipun dilakukan dengan semangat. 

Hari yang semacam ini. Hari yang yang membuat saya memilih lagu-lagu sedih untuk didengarkan. Hari yang membuat saya memandang sudut layar bioskop alih-alih menonton film yang diputar. Hari yang membuat semua perkataan lawan bicara lamat-lamat sulit dicerna. Hari yang membuat saya berpikir lebih lama untuk menjawab sebuah kalimat tanya. Hari yang membuat saya begitu malas tertawa dengan ikhlas. Hari yang tidak tahu harus dimaknai dengan apa. 

Terima kasih kepada hari yang begitu melayang ini. Hari yang saya jalani seperti orang terkena candu. Hari yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang bergema tak terjawab di dalam benak saya. 

5.26.2015

Yamie Pathuk yang Lezat

Di tengah perbincangan tentang mie ayam enak di Jogja, saya mendengar pernyataan yang begitu mengagetkan. "Yamie Pathuk biasa aja, nggak begitu enak," ujar Revul. Saya hanya bisa terbelalak, kaget, dan merasa terkhianati. Bagaimana bisa, pikir saya. Tidak mungkin. Kecuali ia pernah makan yamie di Depot Mini, Banyuwangi, itu akan jadi lain cerita. Oh iya, besok saya cerita tentang depot mini yang menggelegar itu ya. Kembali ke Yamie Pathuk, manusia macam apa yang berani bicara hal itu? hah? Beraninya, lolong saya dalam hati. Sungguh congkak manusia ini.

Usut punya usut, Revul punya kebiasaan yang dapat mengacaukan cita rasa yamie semacam mie Pathuk. Ia menyiram seluruh kuah ke dalam mangkoknya dan mengaduk-aduknya. Itu bukan cara yang terhormat Revul, ingatlah! Kamu akan menyesal bila terus melakukannya. Yamie Pathuk harus diperlakukan dengan penuh cinta, dari adukan sumpit atau garpu yang penuh kasih itu, kenikmatannya akan tercampur. Kenikmatannya tidak akan hadir dengan kebrutalanmu. Ingat dan camkan itu baik-baik!

Kenikmatan Yamie Pathuk, bagi saya, ada di dalam sulur-sulur mie-nya. Jika dikunyah sambil terpejam, mie itu seolah berkomunikasi dengan otak. Ia menyampaikan kenikmatan yang tidak dapat digambarkan dengan apapun kecuali komunikasi yang intim di antara mie dan otak saya.

Lalu bagaimana caranya supaya itu bicara tentang kenikmatannya? Begini cara berkomunikasi dengan mie Pathuk cara saya, pindahkan beberapa sendok kuahnya ke atas mie, lalu aduk perlahan, gulung mie-nya, dan kunyah perlahan. Lakukan dengan khidmat. Mie itu sangat sakral, jangan diperlakukan dengan kasar, Jangan! Ingat Revul, coba besok ke Yamie Pathuk lagi, lalu lakukan langkah-langkah di atas, Bila tetap tidak enak, ya sudah memang selera kita yang berbeda.

xoxo

5.25.2015

Society and Anxiety

Empat tahun lalu, saya bisa keliling Surabaya tanpa telepon pintar. Saya bisa tersesat dengan tenang tanpa sinyal 3G apalagi HSDPA. Saya selalu selalu menghapus kata tersesat setiap bepergian, selama itu masih di tengah kota dan banyak manusia. Manusia-manusia yang dengan baik hati menjawab segala pertanyaan juga pasti akan serta merta membuang ketakutan-ketakutan itu.

Setahun terakhir saya merasakan perbedaan yang sangat terasa di tengah teman-teman seperjalanan. Ke mana pun perginya, jauh atau dekat, kecemasan yang hadir di tengah mereka tidak akan jauh dari telepon pintar. Kini, bepergian di kota besar pun seolah tersesat di tengah hutan belantara, seolah tidak ada siapapun yang bisa diajak bicara jika tersesat. Secara tidak sadar saya pun bertingkah seperti itu. 

Di awal tahun ini, saya pergi bersama keluarga menuju ke kota-kota di Jawa Timur menggunakan mobil. Bagi saya, tokoh utama dalam perjalanan itu adalah mbak-mbak Google yang berkata "in three hundreds metres, turn left" atau "your destination is on the right side". Kami percaya sepenuhnya pada mbak Google itu, membuat pedal gas diinjak dengan percaya diri, dengan mantap setir diputar ke arah kanan dan kiri karenanya. All hail Mbak Google!

 Pada suatu hari, saya pergi ke Solo dengan sepupu saya. Perjalanan yang seperti biasa direncanakan dengan sembarangan asal bisa bepergian. Tidak tahu mau ke mana, biar intuisi saja yang menentukan, begitulah kiranya semboyan kami sejak membeli tiket kereta. Sampai di Solo, tentu saja, intuisi bagi saya sudah termasuk bersama dengan Google Maps. Saat menentukan tujuan pertama, saya dengan sangat cemas menyentuh-nyentuh layar telepon pintar. Setelah naik bis, saya masih cemas melihat ke mana jalannya bis itu apakah mengarah kepada jalan yang benar. Hingga akhirnya, pada kali kesekian saya ingin bertanya pada Google tentang segala yang perlu kami lakukan, sepupu saya dengan tenang menjawab, "wis to, pake GPS gunakan penduduk sekitar aja to, lebih valid." Ya kalau dipikir-pikir memang benar sih, Google suka bohong, Google mudah ditipu orang iseng, Google bisa membuat saya tersesat, tapi tetap saja saya menaruh keyakinan kepadanya. Saya tidak tahu kapan hingga akhirnya manusia tidak punya waktu lagi bahkan untuk melamun karena setiap saat apa yang ada di internet mengajaknya bicara.  

5.24.2015

apa

TIDAK SEMOGA SAYA SELAMAT

5.23.2015

alhamdulillah

Manusia adalah tempatnya luput dan kesalahan. Hari ini saya hampir lupa posting dan sampai malam begini pun masih belum sampai rumah.

Alhamdulillah, teknologi sudah begitu maju. Kini kita sudah bisa mengakses dunia lewat genggaman tangan. Sambil nonton orang main biola dan menari saman pun saya bisa posting blog sembari berdiri.

5.22.2015

wow it's kewl

Jadi hari ini saya baru saja menyadari kalo ada band bagus yang tidak saya pedulikan selama bertahun-tahun. Waktu itu teman saya sangat menyukainya, bahkan kalau tidak salah waktu band itu datang ke Indonesia, dengan amat bersemangat ia menontonnya. Saya yang tidak gaul apalagi hipster hanya diam-diam saja tidak peduli pada band apa yang ia tonton. Hingga..... pada hari ini.... empat tahun setelah teman saya heboh itu, saya baru sadar kalau lagu-lagu band itu bagus ya. Ya udah deh, alhamdulillah. 



5.21.2015

Gadis Pencari Sekrup

Pada suatu malam yang dingin, seorang gadis termenung-menung di depan layar laptopnya. Jika kamu perhatikan matanya, maka yang kau lihat hanyalah, kedip, kedip, kedip, kedip. Sesekali ia melirik layar lebih kecil di sampingnya sambil mengetikan pembicaraan mengenai alien, duyung, mahasiswa tua, skripsi, dan ketan. Apa pula, pikirnya.

Ia tiba-tiba teringat mengapa ia begitu ngantuk malam ini. Selanjutnya, ia mengingat kejadian menyeramkan yang ia alami beberapa hari lalu dan membuatnya pergi ke Ace Hardware sore tadi.

Hari itu.. matahari bersinar begitu terik. Gadis itu, sedang sibuk mempersiapkan alat-alat untuk pembuatan tugas mata kuliah produksi iklan. Di tengah taman yang ala-ala itu, ia dan teman-temannya sibuk merangkai bunga, memasang kamera, mengarahkan talent, dan menggeser-geser slider. Si gadis kemudian ingin menggeser slider juga, kemudian ia berteriak kepada temannya "ini gimana sih kok nggak bisa jalan slidernya," sambil berusaha memutar-mutar sekrup yang ada di samping slider. Tak dinyana, si gadis yang sangat bersemangat itu terdiam seketika. Terdiam seperti kamera di atas slider yang tak mau bergeser. Mulutnya menganga, matanya berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. "Ini kenapaaaa, ini kok putus ini kenapaaa," teriaknya histeris melihat sekrup plastik yang ia putar-putar sedari tadi sobek nyaris putus dan tak bisa diputar lagi. Seketika terbayang kakak angkatannya yang bernama Acip, si pemilik slider. Harus berkata apa diriku, pikir si gadis.

Di hari pengembalian slider, si gadis bingung. Ia bingung bagaimana supaya slider itu bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Ia berusaha keras, memutar sekrup plastik, menusuk-nusuk, menarik-narik, hingga akhirnya sekrup plastik yang amat lemah itu lepas dari lubangnya. Si gadis segera menggantinya dengan sekrup besi yang tidak lemah. Sayangnya sekrup besi itu tidak cukup panjang, tapi setidaknya bisa membuat slider berjalan.

Namun... acip ingin sekrup plastik yang lemah. Ia ingin semuanya kembali seperti sedia kala. Oleh karena itu, si gadis pergi ke Ace Hardware dan menemukannya. Kenapa ke Ace Hardware? Karena si gadis tidak tahu harus bilang apa bila pergi ke toko. Benda itu terlalu rumit, seperti kehidupan. Ia hanya berharap semoga sekrup yang ia temukan sesuai dan dapat digunakan.

5.20.2015

Sarapan

Pagi yang baik adalah pagi yang diawali dengan sarapan yang cukup. Sarapan yang mampu membuatmu bersemangat sepanjang hari dan bertahan tanpa perlu cemilan tambahan sampai makan siang. Selain alasan kesehatan, punya waktu untuk sarapan berarti punya waktu cukup di pagi hari tanpa bangun kesiangan. Di hari yang cukup selo, sarapan bisa menjadi ritual yang cukup menyenangkan atau bahkan bisa menjadi aktivitas cukup berat untuk mengisi keseloan. 

Menurut saya, sarapan adalah saat makan yang paling damai. Matahari belum bersinar terlalu terik dan hawa pagi yang dingin seolah meredam kendaraan yang tergesa-gesa. Sarapan adalah makan yang paling tepat sasaran, tidak perlu bertele-tela, langsung makan! Kalau bertele-tele nanti paginya habis, kalau bertele-tele nanti terkejar hari yang berlalu begitu cepat, kecuali sedang selo lho ya. Sarapan memang cepat karena belum banyak cerita yang terkumpul layaknya saat makan malam. Sarapan adalah kedamaian yang hakiki pada suatu pagi yang cerah, apabila tidak bangun kesiangan dan tergesa-gesa.

Sarapan adalah identitas. Ada yang menyenangkan saat pergi ke kota lain dan sarapan. Ada kota yang membuka harinya dengan sayur-sayuran, kota lainnya membuka pagi dengan santan dengan kolesterol tinggi, kota lainnya lagi mengawali pagi dengan kesegaran kuah bening. Sarapan sesungguhnya adalah ritual yang amat pribadi lebih dari mandi pagi. 

Halo 31 Hari Menulis! Jangan lupa sarapan sebelum kuliah ya besok pagi :) 

5.08.2015

Biru Hijau

Saat seperti ini. Saat isi kepala dibagi-bagi dan tidak tahu harus dirapikan dengan cara seperti apa. Saat seperti ini. Saat permasalahan kecil tiba-tiba terasa besar dan mencuri tempat permasalahan besar yang mengecil terdesak. Saat seperti ini, sebaiknya duduk sebentar dan mengingat deburan ombak dan hijaunya hutan rimba di hari libur.

Belum pernah saya naik kereta selama itu. Dua belas jam. Berdesakan. Jogja - Banyuwangi. Tidur pun sampai bosan. Mimpinya bahkan sudah diulang.

Banyuwangi indah sekali. Ini bukan hanya indah, tapi memang sungguh indah. Entah kenapa semua yang saya lihat di Banyuwangi sungguh tidak tercela secara visual. Setelah turun dari kereta kami melihat taman kota yang sangat damai. Esok harinya ada hamparan biru di hadapan saya. Angin bertiup tenang, menggerakan sedikit demi sedikit pasir putih di kaki saya. Pun kedamaian di sebuah sudut pulau berpantai batu dengan air laut yang tenang. Seolah tidak perlu lah itu kuliah lama-lama sambil baca buku tebal-tebal untuk belajar perdamaian. Esoknya lagi saya melihat dunia sebagai bentangan hijau tak kunjung usai dari ketinggian. Saya melangkah setapak demi setapak mengalahkan kelemahan saya sendiri, mendaki gunung dan melihat keindahan di kawah biru yang mengepul. Lelah mendaki gunung, saya pergi ke hutan. Hewan-hewan besar berlarian di padang rumput hijau. Katanya, jika padang itu kering akan nampak lebih indah. Ah, hijau pun saya bahagia. Tidak ada bosan di kota itu. Jika bosan, lihat ke atas, ada susunan awan dan lengkungan langit yang terlalu menakjubkan bagi saya.

Saat seperti ini. Saat isi kepala dibagi-bagi dan tidak tahu harus dirapikan dengan cara seperti apa. Saat seperti ini. Saat permasalahan kecil tiba-tiba terasa besar dan mencuri tempat permasalahan besar yang mengecil terdesak. Saat seperti ini, sebaiknya duduk sebentar, cuci muka, cuci kaki, pejamkan mata, dan mimpi indah, Selamat tidur.

Search This Blog