8.26.2016

Hello Life

Today, my co-worker said, "Are you overwhelmed with this new client?"

"Kinda," I replied while i was drinking a glass of water and staring to a blank space in front of me. I was trying to be sane after driving a long way to do things. I was trying to catch up with all my duties appropriately. "Why should I do these things by myself?" is the only question that i'm trying to answer. 

Lots of things are queuing in my head while i'm still confused about how many lockets i should open. Things are getting more and more complicated day by day, but I just ignored it. My brain works like a Zombie. All the machines are on in my head, but they produce nothing. It feels like i'm running, but actually not. 

This evening, I drove home. I hit the wall. I realized it after seconds. Don't ask me why i hit the wall because i'm as clueless as you are. I'm as clueless about it as i'm clueless about life. At least now I know that there are many things queuing in front of me and they've had a quarrel as well. 

Thank you wall for taking me back to reality. 


7.12.2016

Lebaran Digital

Idul Fitri kali ini rasanya berbeda karena banyak hal.

Yang pertama karena tahun lalu mata saya sempat memerah selepas sholat Ied. Mata saya memerah karena menemukan bahwa tidak ada ritual-ritual yang biasa saya lakukan selama 20 tahun terakhir hidup saya di hari Idul Fitri, makan opor dan ketupat, bertemu seluruh keluarga saya, dan sungkeman dengan keluarga. Tahun lalu, keluarga saya baru. Tidak ada opor. Saya tidak kenal dengan orang-orang yang datang ke rumah yang baru saya tinggali selama dua minggu. Saya di sebuah pulau kecil dalam rangka 'mengabdi' karena kebetulan saya mahasiswa sebuah kampus 'kerakyatan'. 

Tahun ini, menjelang lebaran, mata saya sering sekali sedikit berair. Bukan sakit mata, tapi ada orang lain yang tinggal di rumah saya yang baru itu dan saya iri padanya. Ternyata saya rindu pada mereka yang ada di tempat yang jauh itu. Hehe. Sekarang yang saya sebut rumah dan keluarga jadi dua ternyata. 

Pertanyaan yang muncul juga makin kompleks. Bukan hanya "kelas berapa?" tapi menjadi "sudah lulus belum?", "kapan wisuda?", "skripsi sampe mana?", "sekarang sibuk apa?", "pacarnya yang mana?". Ya gampang sih jawabnya, tapi kalau sampe ditanya lima kali dalam sepuluh menit kan capek :) Untungnya masih sering dikira masih SMP. Terima kasih tubuh yang tak meninggi. 

Bayi-bayi yang bertemunya cuma setahun sekali atau kadang dua kali itu juga tiba-tiba sudah lulus SD. Tiba-tiba mereka follow Snapchat saya, atau Instagram. Untung bukan Path atau Twitter. God save my personal lifeee. 

Satu lagi yang baru. Cara mengungkapkan ucapan lebaran. Dulu waktu SD-SMP adalah saat yang penting untuk sedia pulsa di malam takbir guna membalas SMS yang banyak serta menyusun kata-kata lucu atau.....copas ucapan lucu. Beberapa tahun terakhir, keberadaan Facebook dan social media lain memberi tambahan bagi ritual ucapan lebaran, yaitu pasang status atau mention teman rombongan. 

Di tahun ini, rasanya semua itu sudah usang. Yang paling mencolok di tahun ini adalah, ucapan lebaran yang lucu-lucu itu sudah berubah menjadi ucapan-ucapan dalam bentuk visual, bukan lagi teks. Path dengan fitur #pathdaily seolah menguatkan dan mendukung perubahan ini. Kini, siapa saja bisa membuat ucapannya berbentuk visual hanya dengan mengetik #pathdaily. Mengirim ucapan menjadi semudah "share to another chat" kalau mau lebih mudah lagi, bagikan saja di grup niscaya sudah meminta maaf pada banyak orang sekali waktu. 

Saya tahu persaingan di dunia ini semakin berat dari ucapan-ucapan lebaran visual itu. Semua orang bisa melakukan apa saja dengan mudah dan cepat, yang membedakan adalah niat dan kesungguhan. 

Selamat menjalani kehidupan biasa setelah Idul Fitri semoga usaha memaafkannya benar-benar berhasil. 

4.11.2016

Jakarta - Banda Neira

Delapan bulan terakhir, saya benar-benar menghentikan ritme kehidupan biasa saya. Semua kesibukan yang tadinya tertata rapi di tempatnya saya singkirkan sejenak demi memberi ruang bagi souvenir-souvenir kehidupan yang hanya bisa didapatkan dengan menyusup ke ritme yang seharusnya bukan jadi milik saya di saat ini. Selama itu, saya mengalami berbagai rupa jenis manusia. Mulai dari tempat yang tidak terlihat oleh dunia hingga kota yang selalu diamati oleh jutaan orang di negara ini setiap hari.

Setelah pulang dari Banda Neira, saya kembali sejenak di Yogyakarta hingga akhirnya memutuskan untuk mencicip rasa Ibukota. Beruntungnya saya masih mendapat waktu untuk kembali sejenak di Yogyakarta, jika tidak, mental saya bagaikan dicelup ke air mendidih setelah direndam di air dingin. Yogyakarta adalah netralisir bagi kehidupan lambat yang saya alami di Banda Neira untuk selanjutnya bisa merasakan kehidupan cepat penuh sesak ala kota metropolitan.

Jakarta dan Banda Neira jelas berbeda. Lalu apa yang sama? Saya tidak pernah mencoba menanyakan pertanyaan itu apalagi menjawabnya hingga pada suatu hari saya duduk di sebuah bar dan melihat pekerja-pekerja urban bergerak tak tentu arah mengikuti irama musik. Tiba-tiba saya mengingat lagu maumere yang setiap hari saya dengar dari speaker besar di belakang rumah tempat saya tinggal di Banda Neira.

 Ya, jangan harapkan jawaban serius dari saya, hanya saja ini nampak begitu sama. Pesta. Dalam sekejap pandangan saya terhadap kaum urban dan segala atributnya berubah ketika lirik “cintaku padamu takkan pernah berubah..” mengiang dalam kepala di tengah sebuah pesta ala kota metropolitan yang penuh dengan lampu neon dan dentum musik. Mereka sama saja, tidak jauh berbeda dari orang-orang yang terhantam ombak setiap hari di timur sana.

Tubuh saya tiba-tiba bergerak ketika musik semakin riuh. Sambil menyesap minuman yang rasanya sama seperti cairan hasil penyulingan aren yang begitu dahsyat di Banda Neira. Bedanya, minuman yang saya minum datang dari seorang bartender bergaya, sedangkan hasil sulingan aren itu datang dari botol air mineral bekas. Saya kemudian ingat, orang-orang di sana bergoyang setelah menyesap campuran bir dan sulingan aren yang akrab dipanggil Sopi itu. Bahkan, terkadang mereka yang kuat lebih memilih untuk menenggak segelas sopi murni. Serupa dengan satu shot tequila yang tak ada artinya dibanding Sopi. Ah tau apa saya tentang minuman keras.

Yang jelas sejak malam itu saya bersyukur telah berlayar sedemikian jauh untuk salah satunya mencoba berjoget di bawah tenda sederhana diiringi lampu neon seadanya dan musik disko ala Indonesia timur. Satu hal yang saya pelajari, ikut pesta di sebuah pulau kecil ternyata bisa mengajarkan banyak hal tentang manusia urban. Sebuah kabar gembira bahwa ada hal yang tidak akan menjadi mengejutkan bagi mereka yang ada di pulau itu jika tiba-tiba harus menjadi bagian dari kota ini.

Sejak saat itu saya sadar bahwa sesungguhnya manusia-manusia ini sama-sama terasing dan perlu dihibur. Yang satu terasing dari daratan lainnya dan yang satu lagi terasing dari ritme kehidupan wajar karena harus berhadapan dengan setumpuk pekerjaan. Pada akhirnya mereka harus berjoget serta membuat diri sendiri lupa akan keterasingan itu.

Mereka pesta dan berdansa seolah tak ada apa-apa, ada banyak cara untuk menutupinya”, begitu kata Ramondo Gascaro di lagunya yang berjudul “Oh, Jakarta”
---
Pada suatu malam di perjalanan pulang yang begitu panjang, saya melihat seorang perempuan muda dihardik sesama penumpang busway karena membuang sampah sembarangan di dalam bus.

Segera saja terbayang di benak saya wajah Icha, Wiwis, Pipin, Arini, Ija, dan anak-anak Banda lainnya. “Kak Arin, beta masukan sampahnya ke dalam tas ya,” begitu ucap salah satu dari mereka ketika kami berjalan pulang bersama melewati Benteng Belgica. Saat itu, saya terkesiap mendengar pernyataan itu. Adalah sebuah kabar gembira ketika anak-anak itu dengan sukarela menyimpan sampah pembungkus makanannya dan berniat membuangnya hingga bertemu tempat sampah. Sebuah harapan tiba-tiba terbit di kala matahari hampir tenggelam. Satu kalimat itu berarti banyak di tengah kebingungan kami terhadap sampah yang menumpuk dan mengotori laut di sekitar pulau itu. Sampah-sampah yang tidak tahu harus dibawa ke mana karena laut bukan tempat yang tepat untuk membuangnya sedangkan manusia tak bosan membuat sampah setiap saat.

Lain pula cerita ketika saya sedang berada di atas kapal pokpok menuju Pantai Wali, pantai di ujung Pulau Banda Besar. Ketika itu, di tengah angin laut yang begitu kencang, saya mencoba mengumpulkan sampah-sampah plastik yang kami buat dan memasukannya dalam tas. “Haha, dasar orang kota,” begitu kata salah satu orang yang berada di atas kapal itu. Komentar serupa saya dengar lagi ketika saya baru saja selesai makan siang di pinggir pantai, katanya, “kalau Arin sampah ini (sampah plastik) pasti dikumpulkan, memang dasar orang kota.” Apa yang salah sih dengan menjadi orang kota? Pikir saya.

Melihat orang membuang sampah sekenanya di Jakarta bukan lagi hal yang asing bagi saya. Sering saya lihat orang-orang bergaya kantoran membuang sampah di mana saja seolah Jakarta bisa menelan limbah mereka dalam beberapa detik. Apakah saya harus berkata, “dasar orang kota,” persis seperti kakak piara saya?

Setiap kali berada pada kejadian seperti itu, rasanya saya ingin bercerita panjang pada mereka. Bercerita bahwa sebagai ‘orang kota’ kita punya beban yang begitu besar di mata banyak orang di luar sana, yaitu menjaga kebersihan laut, bumi, dan seisinya. Saya ingin berkata pada mereka,”mati-matian aku bawa sampah-sampah itu di dalam tasku meskipun angin laut begitu kencang dan ombak hampir menelan kami yang penting plastik-plastik itu tidak tercecer membunuh karang. Sudah begitu, aku masih saja disamakan denganmu, disebut sebagai ‘orang kota’.”

Di saat yang sama pula, saya ingin menelepon orang-orang yang mengatai saya ‘orang kota’  dan berkata, “Kak, jang pernah lai pikir orang yang buang sampah pada tempatnya itu ‘orang kota’. Barang dong saja ada buat kota kotor. Tar perlu lah katong jadi ‘orang kota’ kalau mau bekeng kebaikan. Lebih bagus lai kalau dong yang pane sebut ‘orang kota’ itu bisa belajar dari pane. Percaya deng beta, ‘orang kota’ itu tar semua bekeng kebaikan,” ah sok menasehati sekali sih saya.  Kak, jangan salah, buang sampah pada tempatnya itu bukan kebiasaan orang kota, tapi kebiasaan manusia yang berusaha peduli pada sesamanya.


Sejak itu saya punya harapan besar pada Icha, Wiwis, Pipin, Arini, Ija, dan anak-anak Banda lainnya. Jika akhirnya mereka harus pergi dari Neira, mereka akan menjadi ‘orang Neira’ yang berusaha peduli terhadap sesamanya dengan membuang sampah pada tempatnya. Menjadi ‘orang Neira’ saja cukup untuk menjadi warga yang baik di setiap tempat, termasuk di kota besar penuh tipu muslihat macam Jakarta. Karena sesungguhnya, makna ‘orang kota’ yang disebut kakak piara saya dan kawan-kawannya itu tidak ada. Yang ada adalah, orang-orang yang mau menyayangi kotanya dan sekitarnya atau tidak. 

Search This Blog