6.08.2015

Naik Gunung sambil Jogging

Saya paling lemah kalau diajak mendaki. Apapun yang menanjak. Apapun yang dilabeli bukit dan gunung. Saya paling lambat berlari, kecuali terancam. Dikejar anjing misalnya. 

Januari 2015 sudah tinggal remah-remah. Saya masih menarik nafas dalam-dalam sambil menikmati angin yang berhembus setelah naik gunung sambil jogging tahun kemarin. 

Ada jeda yang panjang setelah berlari sepanjang Januari hingga Desember tahun lalu. Saya sediakan jeda yang panjang. Jangan melipat kaki setelah berlari, nanti varises atau apa lah. Bisa jadi keluar pula urat-urat tak perlu dari kepala saya jika saya tak berhenti sejenak. 

Sebelum tahun 2014 berakhir, saya ingin sekali menulis bermacam ungkapan rasa syukur di manapun ketika Desember resmi ditutup. Bahkan saya sudah merencanakan untuk melompat, berteriak, dan mengetik semua selebrasi tersebut dengan huruf kapital. Namun ternyata, terdiam dan menyadari semuanya telah berakhir terasa lebih melegakan dibanding sorak sorai selebrasi sia-sia. Karena akhirnya, saya berhasil selamat melewati segala halangan, rintangan, duri-duri tajam, jalanan licin, dan semak belukar sepanjang tahun. Saya tak peduli bagaimana caranya semua itu terlewat, yang penting, terlalui dan saya selamat. Yang saya butuhkan hanyalah mengatur kembali nafas setelah lari terbirit-birit keliling pulau Jawa menerjang segalanya. 

Ah, tapi nampaknya saya perlu menulis sesuatu supaya tahun itu tidak hanya hilang seperti asap setelah saya membumihanguskannya. 

Tahun 2014 adalah tahun penuh kepastian. Setiap harinya terisi oleh hal-hal yang pasti harus saya lakukan. Setiap harinya terisi oleh tanggung jawab yang kadang bosan saya lakukan. Di setiap waktunya saya ketahui memiliki tantangan untuk ditaklukan. Yang akhirnya menjadikan saya bosan menghadapinya. Tahun yang penuh tantangan tapi monoton. Tahun yang mengubah saya seolah kuda. 

Ada hal-hal yang membuat saya sengaja mendaki gunung sambil jogging layaknya kuda. Ada hal-hal yang membuat saya terus melakukan itu semua. Namun, ada pula saat-saat ketika saya begitu tak memahami mengapa melakukan itu semua sambil tetap melakukannya. Ada obsesi untuk mengambil kemudi arah terhadap segalanya. Membuat saya tak mampu lagi memikirkan arah untuk diri sendiri. 

Tahun 2014 adalah saat di mana saya sama sekali tidak ingin menikmati waktu. Saya ingin semester empat berakhir. Saya ingin semester lima berakhir. Saya ingin tahun itu segera berakhir. Ada banyak momen yang tidak saya resapi kenikmatannya karena terlalu terburu-buru untuk membuatnya berakhir. 


Di tahun 2014 saya belajar untuk mempertahankan keinginan, memilah kepentingan, dan memperjuangkan kebutuhan. Saya juga belajar untuk mengubah apa yang seharusnya diubah dan juga berlatih untuk mengatakan apa yang seharusnya disuarakan meskipun kadang gagal lalu berakhir dengan gerutu tak berujung. Yang terpenting, saya belajar untuk mengukur kemampuan dan memperkirakan capaian apa lagi yang bisa diraih. 

sayangnya, saya terlalu lelah mendaki gunung sambil jogging dan membutuhkan jeda panjang untuk memulihkan nafas.

------------

Menemukan tulisan ini di draft post. Tidak terasa sudah pertengahan tahun 2015, dan ternyata kali ini saya seolah sedang glundung-glundung di pinggir pantai, menikmati sepoi angin, tak peduli pada dunia alih-alih jogging apalagi mendaki gunung.  






No comments:

Post a Comment

Search This Blog