11.08.2012

Teman Berbentuk Kotak Kaca

Sangat aneh sekali, ini jam satu malam dan saya sama sekali nggak ada niatan buat tidur. Saya tau alasannya adalah karena saya kebanyakan tidur dari kemarin. Sedihnya, besok nggak ada tugas apapun yang akan dikumpulkan, pun tidak ada ujian sama sekali karena memang uts sudah berakhir dengan tidak begitu indah padahal kalau ada tugas atau ujian, jam sepuluh malam saja rasanya ingin merayap ke tempat tidur.

Behubung lagi selo, saya mau cerita tentang kehidupan masa kecil saya. Ah, bukan kehidupan masa kecil juga sih. Anggap saja pengalaman cukup indah dengan televisi di awal tahun 2000an.

Dulu, saya anak yang cukup pemberani. Kenapa begitu? Entah keluarga saya yang pemberani atau memang saya yang sungguh sakti, tapi saya dulu waktu masih kelas 1 SD sudah sering ditinggal di rumah sendirian. Setelah dipikir-pikir mengerikan juga ya, mengingat rumah saya dulu di Jakarta bukan di Jogja yang katanya sih berhati nyaman ini. Bukannya berpikir bahwa Jakarta itu sangat mengerikan atau bagaimana, tapi yang jelas bagi saya yang sudah semakin tua ini, Jakarta ternyata terasa sangat rimba walaupun minim warna hijau. Saya juga nggak bisa membayangkan meninggalkan adik saya di rumah sendirian begitu dan kenyataannya saya dulu ditinggal di rumah sendirian.

Dulu, saya tinggal sama mama dan eyang saya di Jakarta. Eyangkung harus tinggal beberapa lama di rumah sakit kala itu. Eyang Ti saya otomatis harus tinggal di rumah sakit juga. Mama saya sibuk kerja dan kadang masih harus mampir ke rumah sakit. Papa saya di Jogja. Jadi, ya saya harus tinggal di rumah sendirian sampai sore setelah sopir antar jemput mengantarkan saya sampai rumah. Ya memang sih tidak serta-merta ditinggal begitu saja. Mama saya jelas nitipin saya ke tetangga-tetangga. Saya juga harus mengambil kunci rumah di tetangga. (Jadi ingat dulu kunci rumah gantungannya warna ijo dari apotek dan ada tulisan "semoga lekas sembuh"-nya.) Saya cuma punya bekal, "jangan nyalain kompor sendiri ya.", cukup begitu saja dan saya aman di rumah.

Saya boleh kok stay di rumah tetangga, tapi seringnya saya lebih suka stay di rumah sendiri. Kalau ada yang sering heran karena saya sering ditemukan jalan-jalan sendiri, hal itu bisa disebut sebagai peninggalan masa lalu saya yang memang sukanya sendirian di rumah. Saya nggak penyendiri kok, saya ceritanya artis komplek dulu (ya, kalo boleh pede sih). Hanya saja, saya merasa senang sekali kalau sendirian di rumah karena saya bisa menguasai rumah, main drama, ngomong sendiri, menari, nonton televisi, atau apa saja yang kira-kira asik, saya bisa jadi apa saja selama sendirian.

Ngomong-ngomong soal melakukan hal asik, salah satunya adalah nonton televisi. Dulu, pulang sekolah sekitar jam 10 pagi adalah waktunya sinetron horror tayang, kadang suzana kadang Nyi Blorong. Ada juga drama kolosal yang saya lupa namanya, tokohnya punya rambut kuncung gitu. Kalau pas lagi beruntung saya bisa ketemu Dono Kasino Indro. Memang semuanya bukan konsumsi anak-anak, tapi ya mana tau saya juga masih anak-anak ya nonton saja.

Yang paling membekas tentang tayangan televisi masa-masa itu adalah berita kriminal menjelang tengah hari. Ada banyak berita kriminal yang ditayangkan tiap harinya. Yang paling favorit dari saya adalah kasus pembunuhan, tapi saya sering takut liatnya. Yang paling saya tidak suka karena saya rasa tidak begitu jelas adalah berita penipuan. Yang paling membekas di pikiran adalah berita pemerkosaan, pencabulan, ataupun sodomi. Yang terakhir ini adalah yang bikin saya geleng-geleng kepala dan nggak paham juga bagaimana bisa anak sekecil saya bisa nonton berita macam itu. Jadi, sejak SD saya sudah kenal sama yang namanya pemerkosaan ataupun pencabulan walaupun saya juga tidak tau itu kejahatan macam apa. Yang saya tahu biasanya korbanya perempuan dan biasanya yang melakukan adalah lelaki yang tidak begitu tampan. Dulu, dalam pikiran saya, diperkosa berarti ditubruk dari depan lalu sang korban teriak-teriak dan terjadilah pemerkosaan. Saya juga nggak tahu apa yang terjadi dengan korban pemerkosaan, saya pikir mereka malu saja ditubruk laki-laki tidak dikenal. Sungguh. Istilah lain yang sungguh sangat dini saya ketahui adalah sodomi. Jujur saja, saya nggak paham dan benar-benar tidak punya gambaran tentang sodomi. Sialnya, kata sodomi adalah yang paling lama membekas di pikiran saya. Menurut saya kata sodomi itu begitu catchy semacam doremi. Jadi, Doremi itu Sodomi atau Sodomi itu Doremi. Setiap mengingat Sodomi, yanga da di kepala saya adalah warna pelangi dan Doremi.

Beruntungnya, saya tumbuh menjadi anak baik-baik. Saya menjadi anak yang begitu manis dan jarang neko-neko. Yah, setidaknya saya tidak pernah pulang malam sampai teler, yang ada teler karena kebanyakan kerjaan. Saya juga tidak pernah kepikiran untuk melihat pemerkosaan atau praktek sodomi (?) astaghfirullah. Jadi, saya ini adalah salah satu generasi yang dibesarkan oleh televisi, tapi cukup beruntung dapat tumbuh jadi anak normal yang semakin hari semakin benci televisi.

Kalau lihat adik saya nonton televisi, saya sering takut sendiri. Kosakata apa yang sudah dia simpan di sudut otaknya. kata Catchy apa yang kira-kira menarik perhatiannnya. Mungkin saja Sodomi dapat berarti Sosis Donat dan Mi atau apapun yang dapat ia pikirkan.

Saya sih hanya mau bilang bahwa bahaya televisi itu bukan hanya kehebohan publik semata. Hal itu ada di depan mata, beruntunglah anak-anak jaman sekarang tidak pernah nonton Nyi Blorong. Jangan salahkan televisi kalau anaknya tiba-tiba mempraktekan apa yang ia dapat dari televisi. Yang beli Televisi kan orang tua, ya berarti orang tua yang punya kendali remote. Kalau memang nggak sanggup mendidik anaknya tanpa televisi, ya setidaknya si anak harus punya modal kuat supaya tidak macam-macam. Dan saya merasa beruntung sekali dapat terhindar dari efek bahaya televisi, karena kata mama saya kalau saya kebanyakan nonton televisi nanti otaknya beku nggak bisa muter atau jamuran. Jadi, saya sudah dapat mengingat bahwa apa yang dikatakan televisi hanyalah sampah belaka.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog