Semuanya jadi jelek, semuanya kehujanan |
Sebelumnya, saya berdesak-desakan di salah satu pintu masuk menuju Borobudur yang dijaga oleh polisi. Situasi yang sudah tidak bisa ditangisi, hanya bisa ditertawakan. Situasi yang terasa konyol mengingat tadi pagi saya sudah siap berangkat pukul tujuh sedangkan orang-orang yang menempel di bahu saya itu mungkin baru datang tadi ketika hari sudah gelap. Di situasi itu, saya pun tetap tak memiliki hak untuk memaksa polisi membuka gerbang. Mereka tak akan peduli kalau saya sudah berangkat sejak pagi, terlambat masuk karena harus menunggu pesanan bakmi yang tak kunjung datang, dan membeli segelas es jeruk kental seharga 8000 rupiah. Saya saja sudah merasa tak ada artinya untuk menyalahkan orang yang mungkin membuat situasi ini terjadi pada kami -tentu saja karena kekesalan saya sudah melebihi ubun-ubun. Namun, orang-orang itu berteriak minta dibukakan pintu, memaksa, dan mengeluh. Sah saja kok kalau mereka ingin melihat, tapi ya bukan begitu caranya.
Es Jeruk Fenomenal |
Terlepas dari itu semua, saya bersyukur bahwa keyakinan kami untuk dapat masuk ke dalam terbayar. Setidaknya kami tidak mengamuk karena rencana matang yang telah kami idamkan sejak membuka mata di pagi hari gagal. Mungkin keadaan itu telah mengijinkan saya untuk membeli es jeruk yang mungkin terbuat dari sekilo jeruk yang harganya membuat kami terdiam bersama di sebuah warung bakmi yang katanya terkenal itu. Keyakinan yang saya tuliskan dalam buku catatan ketika orang-orang berubah air muka karena mendapat kabar bahwa semua pintu masuk Borobudur sudah tertutup setidaknya terwujud.
Bapaknya barusan bilang kalau udah nggak ada lagi pintu buat masuk ke candi. Jadi kita bangun pagi untuk makan bakmi? Akankah kita bertemu dengan biksu dan bikhuni? Makhya bilang dia sudah ada di dalam candi. Ah, tapi aku yakin kita pasti bisa menjadi saksi atas prosesi ini.
No comments:
Post a Comment