Keberadaan taman kota sudah lama
diidam-idamkan oleh masyarakat Jogja. Kira-kira sekitar tiga tahun yang lalu,
ketika kota-kota lain berbenah dengan taman kota dan ruang terbuka hijau
mereka, warga Jogja mulai gelisah. Bersamaan dengan itu, taman kota di Jogja
tak terlihat lagi perkembangan dan pertambahannya.
Saya penyuka taman, karena sejak kecil saya hobi sekali naik
sepeda ke taman dalam kompleks dan bermain di sana bersama teman-teman.
Tertusuk duri, daun, dan tersengat lebah adalah cerita menarik lainnya. Sejak
pindah ke Jogja, taman kota yang bisa dibuat berlarian, main petak umpet, dan
dikelilingi naik sepeda tak pernah terlihat. Sejak itu pula saya mafhum bahwa
Jogja memang tidak punya tempat semacam itu, dan ya sudahlah pikir saya. Pun
sampai ketika banyak orang mulai menginginkan taman kota di Jogja saya pun
hanya bersikap biasa saja sambil, “oh iya, memang butuh taman kota ya.”
Hingga akhirnya, pada suatu sore di Jakarta saya dan Mbak Lintang yang tidak tahu bepergian entah ke mana memutuskan untuk pergi ke Taman Suropati. Agak rumit memang menuju taman itu tanpa kendaraan pribadi. Naik bis ini dan itu nyambung ke sana ke mari dan turun di sebuah persimpangan jalan hingga akhirnya berjalan kaki. Kami berjalan kaki melewati kawasan rumah-rumah elite para duta besar. Jalanan tidak begitu ramai, ada sedikit ketenangan di sekitar sana.
Awalnya kami pikir, apa sih yang mau dilihat di taman. Hingga akhirnya, saya duduk di tengahnya. Melihat banyak orang yang begitu bersemangat melakukan ini dan itu di tengah taman kota. Ada beberapa anak yang berlarian di taman sambil meniup gelembung sabun. Ada pula pasangan muda yang mendorong bersama kereta dorong bayinya. Sekelompok pengamen berkeliling mengikuti jalur yang telah disepakati dengan kelompok pengamen lainnya supaya mereka tidak bertemu di titik yang sama. Di dekat air mancur ada beberapa orang yang sibuk membawa hewan peliharaannya. Oh ternyata mereka komunitas penyayang hewan.
Ada semangat dan ketenangan yang tidak dapat ditemukan selama perjalanan kami menuju sana. Ada kebahagiaan yang muncul dengan damai berputar-putar di udara. Taman itu seolah menjadi titik kunci bagi ruwetnya kehidupan di kota memusingkan itu. Saya tiba-tiba menemukan kesejukan yang entah berasal dari mana. Mungkin saja berasal dari abang-abang kue cubit yang mangkal di sana atau dari suara nyaring teriakan anak-anak yang berlarian di rumput.
Bisa jadi, taman kota adalah salah satu bagian kota yang mempertahankan kewarasan warganya. Sejak itu, saya jadi yakin bahwa Jakarta tidak seburuk yang saya bayangkan sejak menemukan titik kewarasan paling damai di kota itu.
No comments:
Post a Comment