Pada menit pertama, tanpa banyak pertanyaan untuk dijawab, saya menumpahkan segalanya. Ingatan yang telah saya rekam seolah terputar begitu saja di kepala. Sejak kisah panjang yang saya kicaukan itu, saya menyadari, bahwa ternyata saya rindu tempat itu, saya jatuh cinta pada dalamnya lautan Banda, dan mungkin sebagian dari diri saya tertinggal di sana. Hampir tiga jam saya bercerita panjang tentang tempat itu. Tempat yang jauhnya delapan jam perjalanan dari Ambon menggunakan Kapal Pelni, empat jam menggunakan kapal cepat, dan satu jam menggunakan pesawat perintis. Tempat yang wangi rempahnya telah bercampur menjadi kehangatan. Tempat yang baru saja saya cari di Google Maps untuk kesekian kalinya dan tetap tidak terlihat jika tidak diperbesar sebanyak tiga kali.
Baru saja, saya tertawa di depan laptop sambil mengerutkan kening. Bagaimana bisa saya mencapai tempat yang mungkin sebagian besar orang di dunia ini tidak pernah menyadari ada daratan di sana. Di tengah lautan, di tenggara Pulau Ambon. Masih terheran-heran, bagaimana ada manusia yang tinggal di sana dan saya mengenal mereka. Kepulauan sekecil itu.
Pantas saja, ada lebih banyak orang yang berpikir tentang duo Ananda Badudu dan Rara Sekar ketimbang kepulauan ketika saya menjawab "Banda Neira" untuk pertanyaan "KKN di mana?" Yang merasa tau tempat itu, tenang saja. Persentase golongan kalian juga masih banyak, tapi yang berkomentar "hah? emangnya nama band?" juga tidak sedikit. Maka, sebagai usaha untuk memperbanyak golongan yang mengenal Kepulauan Banda Neira, biarkan saya bercerita tentang tempat penuh kisah itu.
Banda Neira adalah bagian yang tidak mungkin hilang dari rangkaian sejarah panjang penjajahan bangsa barat di negeri kita. Adalah aroma pala dari Banda, salah satu faktor yang mengundang bangsa barat untuk singgah dan menetap di negeri kita. Bahkan, P. Run, salah satu pulau di Banda Neira, pernah ditukar gulingkan dengan Manhattan, New York oleh Inggris dan Belanda. Secara tidak langsung, kepulauan ini punya andil besar terhadap hadirnya kota metropolitan tempat sebagian besar orang berpaling saat ini. Sungguh sebuah ironi ketika banyak orang mengenal New York dan sebagian besar dari mereka tidak tahu pasti di mana Banda Neira.
Ketika kali pertama kapal mendekat ke P. Run, pulau terdepan di Banda Neira, saya sudah mulai berbinar-binar. Akhirnya, setelah tiga hari perjalanan panjang penuh perjuangan kami sampai juga di sini, pikir saya. Kemudian, dengan mata yang berbinar, saya pun ternganga, beberapa lumba-lumba melompat di lautan. Saya tak menyangka, begitu cepatnya kah lumba-lumba menyapa kami. Saya tak menyangka, kebahagiaan bisa sedini itu diapatkan bahkan sebelum menginjakan kaki di daratannya.
Tibalah saatnya kami melintasi sebuah selat kecil di antara Pulau Neira dan Gunung Api Banda, tandanya waktu merapat sudah semakin dekat. Hiruk pikuk manusia di dalam Kapal Tidar menjadi semakin ramai, riuh, nampak kacau. Beberapa mulai bersiap mengangkat, menggendong, memanggul, dan segala kata kerja yang bisa berarti membawa bawaan masing-masing. Tiba saatnya tangga kapal diturunkan, keramaian makin meningkat, kuli kapal berlarian, logat Banda terdengar semakin kuat di setiap sudut. Sampailah kami di Pulau Neira dengan segala kekacauan khas angkutan mudik lebaran.
Setelah hiruk-pikuk pelabuhan dan usaha menurunkan seluruh barang dengan susah payah, akhirnya kami menginjakan kaki di Pulau Neira disambut dengan suara petasan yang menjadi soundtrack bulan Ramadhan. Pulau ini menjadi pusat di Banda Neira, di mana pasar yang menyediakan segala jenis kebutuhan berjalan. Pulau yang dua bulan kemudian saya cintai dengan sepenuh hati beserta isinya. Saya tidak sedang membual, hanya ada dua kemungkinan, saya benar-benar mencintainya atau saya hanyalah orang asing ngehek yang terlalu kagum pada sudut lain Indonesia. Yang jelas, hingga saat ini, saya merindukan tempat itu dan masih terus membayangkan rasanya berjalan ke seluruh penjuru pulau sebelum tidur.
Banda Neira adalah bagian yang tidak mungkin hilang dari rangkaian sejarah panjang penjajahan bangsa barat di negeri kita. Adalah aroma pala dari Banda, salah satu faktor yang mengundang bangsa barat untuk singgah dan menetap di negeri kita. Bahkan, P. Run, salah satu pulau di Banda Neira, pernah ditukar gulingkan dengan Manhattan, New York oleh Inggris dan Belanda. Secara tidak langsung, kepulauan ini punya andil besar terhadap hadirnya kota metropolitan tempat sebagian besar orang berpaling saat ini. Sungguh sebuah ironi ketika banyak orang mengenal New York dan sebagian besar dari mereka tidak tahu pasti di mana Banda Neira.
Ketika kali pertama kapal mendekat ke P. Run, pulau terdepan di Banda Neira, saya sudah mulai berbinar-binar. Akhirnya, setelah tiga hari perjalanan panjang penuh perjuangan kami sampai juga di sini, pikir saya. Kemudian, dengan mata yang berbinar, saya pun ternganga, beberapa lumba-lumba melompat di lautan. Saya tak menyangka, begitu cepatnya kah lumba-lumba menyapa kami. Saya tak menyangka, kebahagiaan bisa sedini itu diapatkan bahkan sebelum menginjakan kaki di daratannya.
Tibalah saatnya kami melintasi sebuah selat kecil di antara Pulau Neira dan Gunung Api Banda, tandanya waktu merapat sudah semakin dekat. Hiruk pikuk manusia di dalam Kapal Tidar menjadi semakin ramai, riuh, nampak kacau. Beberapa mulai bersiap mengangkat, menggendong, memanggul, dan segala kata kerja yang bisa berarti membawa bawaan masing-masing. Tiba saatnya tangga kapal diturunkan, keramaian makin meningkat, kuli kapal berlarian, logat Banda terdengar semakin kuat di setiap sudut. Sampailah kami di Pulau Neira dengan segala kekacauan khas angkutan mudik lebaran.
Setelah hiruk-pikuk pelabuhan dan usaha menurunkan seluruh barang dengan susah payah, akhirnya kami menginjakan kaki di Pulau Neira disambut dengan suara petasan yang menjadi soundtrack bulan Ramadhan. Pulau ini menjadi pusat di Banda Neira, di mana pasar yang menyediakan segala jenis kebutuhan berjalan. Pulau yang dua bulan kemudian saya cintai dengan sepenuh hati beserta isinya. Saya tidak sedang membual, hanya ada dua kemungkinan, saya benar-benar mencintainya atau saya hanyalah orang asing ngehek yang terlalu kagum pada sudut lain Indonesia. Yang jelas, hingga saat ini, saya merindukan tempat itu dan masih terus membayangkan rasanya berjalan ke seluruh penjuru pulau sebelum tidur.
No comments:
Post a Comment