Ada banyak jalan menuju Roma, pun ke Kiluan. Cara pertama yang saya temukan adalah berangkat secara mandiri dan backpacker sejati menggunakan kereta ke Jakarta - Bus ke Merak - Kapal ke Bakauheni - Bus ke Bandar Lampung - Travel ke Kiluan - Naik jukung ke Pulau Kiluan - Naik Jukung lihat lumba-lumba. Nampak mudah bukan? Hanya saja jumlah kami hanya dua belum pernah menyebrang ke Bakauheni pula. Cara kedua, menuju Bakauheni secara mandiri, dijemput kenalan saudara yang ada di Kiluan. Sayangnya kami hanya berdua juga, siapalah yang membayar kursi-kursi kosong mobil sewaan nantinya kalau bukan kami.
Kami hampir menyerah dan akan berbalik ke timur lalu naik kereta hingga ke Banyuwangi dan menyebrang sampai Gilimanuk (yang tanpa disadari sesungguhnya lebih mengerikan). Demi mempertahankan keinginan dan impian saya, otak saya bekerja keras sambil mengetik berbagai macam keywords di google. Cara terakhir akhirnya saya temukan, open trip! Ah, kalau terdesak otak memang lebih cerdas dan keberuntungan tak akan pergi jauh-jauh. Di sebuah pertengahan malam akhirnya saya temukan paket open trip yang sesuai keinginan di sini . Penemuan yang begitu brilian ketika Myrna hampir menyerah dan sudah kesal dengan saya.
Perjalanan diawali dari terminal Kampung Rambutan yang juga meeting point semua peserta open trip. Sampai di Kampung Rambutan, keyakinan kami akan kebenaran keberangkatan trip ini masih sangat kurang meskipun kami sudah kepo semua akun media sosial trip leader- nya. Kepercayaan kami akhirnya bersinar-sinar ketika akhirnya, trip leader yang begitu kami nanti-nantikan hadir di depan mata setelah satu jam menunggu di ruang tunggu terminal yang amat creepy. Saya dan Myrna bersalaman.
Perjalanan pertama menggunakan bus selama 3 jam menuju Merak. Tepat pukul 12 malam kami sampai di Merak yang ternyata begitu ngeri kalau dua anak perempuan macam kami pergi sendiri. All hail internet yang dapat mempertemukan 8 orang asing dalam satu perjalanan. Saya dan Myrna salaman lagi.
Selanjutnya, kami menyeberangi Selat Sunda dengan kapal ferri. Sejak awal pamit mau pergi ke Lampung, eyang dan om sudah mewanti-wanti "wah, pulang-pulang kamu bisa bawa tinggi (kutu kasur) dari kapal," pasalnya satu kasur di rumah sudah jadi korban kutu kasur Merak-Bakauheni dan meninggalkan banyak bentol di kulit tiap saya ke Jakarta sebelum akhirnya dibuang. Kisah itu nampaknya jadi bekal utama Myrna saat naik kapal dan bersikeras tidak mau turun dari atas kursi dan menyentuh kasur lapuk di bawahnya. Saya juga geli sebenarnya dan tidak berhasil duduk lama-lama di bawah lalu akhirnya menghabiskan tiga jam perjalanan tidur meringkuk di kursi.
Ha! Saya dan Myrna salaman lagi! Mas Trip Leader bukan penculik! Sampailah kami di Provinsi Lampung! Bandar Lampung masih jauh, saudara. Hari masih gelap, naik ke mobil setelah shalat shubuh saya tidur sampai hari terang. Ketika bangun, saya sarapan di sebuah warung yang nasi uduknya enak. Lalu tidur lagi sampai jam 9 ketika saya melihat pantai dan nyiur melambai-lambai di Pantai Klara. Saya sudah melewati Bandar Lampung saat terlelap dan terbuai mimpi. Hanya saja, perjalanan masih jauh juga saudara, jalanan masih berkelok dan bergelombang lubang-lubang.
Pukul 12 siang, saya dan Myrna salaman lagi dengan senyum luar biasa lebar! Kami benar-benar sampai Teluk Kiluan. Pasir pantainya sungguhan! Air lautnya sungguhan! Kami naik kapal sungguhan menyeberang ke P. Kelapa dari Tel. Kiluan. Tak ada yang berbohong, semua sungguhan! Saya bahagia sungguhan! Saya salaman lagi sama Myrna! Ini semua sungguhan! Ha!
Sesungguhnya, perjalanan ke Kiluan memang sangat panjang, 15 jam, Saudara!
Berhasil! Pulaunya sungguhan! |
Pasir putih, laut toska, bukit hijau, hati yang gembira! |