Saya ini orangnya kadang sering nggak tau kalo sedang sedih. Kadang-kadang nggak paham kalo saya perlu diam sebentar dan meresapi apa yang terjadi. Di kesempatan lain kadang saya memilih untuk menolak bersedih dan pura-pura senang supaya lupa kalau ada sesuatu yang menyedihkan.
Dua bulan lalu, saya sedang duduk di bandara, transit di Malaysia untuk melanjutkan penerbangan ke Vietnam. Perjalanan itu saya gunakan untuk pergi dari kesedihan dan menganggap semua akan baik baik saja pada waktunya tanpa harus berkawan dengan air mata. Hingga akhirnya, di Kuala Lumpur saya menangis tersedu-sedu sendirian. Pasalnya, saya baru saja membuka Instagram dan melihat sebuah unggahan yang sama sekali tidak ingin saya tahu. Unggahan itu seolah mengamini pikiran-pikiran buruk yang saya pikirkan beberapa waktu sebelumnya. Saya kira saya akan baik-baik saja, ternyata tanpa sadar saya sudah menangis tersedu-sedu hingga sesak nafas. Handphone saya berdering beberapa kali, keluarga saya mengabarkan kalau sebentar lagi kami akan berangkat ke Ho Chi Minh. Saya masih gelagapan berlari ke toilet, mencuci muka supaya tak menimbulkan banyak pertanyaan.
Sejak saat itu saya pikir ada baiknya berhenti memakai media sosial sehingga bisa menghindari informasi-informasi yang sebaiknya tidak saya ketahui. Bukannya menghindari kesedihan, tapi saya pikir memang lebih baik saya merangkul kesedihan tanpa perlu membumbu-bumbuinya dengan informasi yang menambah kepedihan. Jika sedih, memang ada baiknya buka instagram lalu nontonin video dari ibunya Kirana sambil tertawa sendiri. Namun, lihat story instagram dan nonton mantan lagi asik-asikan sama gebetan barunya setelah itu juga pedihnya tak terperi. Maka dari itu, setelah saya pikir-pikir tak perlulah saya bertahan di kehidupan fana media sosial yang sekarang lebih banyak mengumbar kehidupan pribadi nir faedah alih-alih berbagi visual nan aesthetique.
Alhasil saya memutuskan untuk menghapus media sosial nir faedah seperti Instagram dan Path di smartphone saya. Media sosial yang akhir-akhirnya hanya menambah bahan untuk bergunjing, iri, dengki, dan cemburu. Hitung-hitung mengurangi racun-racun yang menghambat penulisan skripsi saya. Saya pun dengan seksama tanpa media sosial tak berguna itu menulis skripsi saya dengan damai. Membaca beberapa jurnal tentang media sosial dan relasi antar penggunanya sebagai bahan menulis skripsi pula.
Beberapa minggu berlalu, skripsi saya sudah cukup banyak terkerjakan dan ajaibnya saya merasa lebih merdeka tanpa terjajah informasi-informasi tak berfaedah dari media sosial. Saya berada pada situasi di mana tak perlulah teman-teman media sosial saya tahu, pun saya juga tak lagi peduli si A sedang di mana bersama siapa atau si B sedang apa mau ke mana. Rupa-rupanya media sosial itu toxic juga ya. Menurut Thompson (2008), media sosial menciptakan sebuah konsep bernama digital intimacy, situasi di mana media sosial mengkondisikan penggunanya untuk saling tahu tentang keadaan pengguna lainnya. Hal inilah yang kemudian menciptakan keintiman semu, keintiman yang terjadi tanpa komunikasi secara langsung, chat pribadi, apalagi tatap muka. Hanya dengan buka Instagram, saya sudah tahu Pevita Pearce kemarin siang lari terengah-engah dari Amplaz menuju Gardena. Sebagai non-fans Pevita, informasi itu tidak penting sama sekali, tapi mau tak mau saya jadi tahu karena tidak sengaja lihat story-nya di explore Instagram.
Saat ini sudah bukan eranya lagi berbasa-basi, "Apa kabar?" karena kini semua orang tahu kamu kemarin sarapan apa sama siapa, pakai sambel berapa sendok. Sekarang saatnya menaikan level keintiman pertanyaan basa-basi jadi, "tukang bubur ayam tempatmu sarapan kemarin itu calon mertuaku lho." Yah, tak perlulah juga dijawab "kok tau aku makan bubur ayam di sana?" karena ya semua orang itu dasarnya adalah penguntit di era media sosial seperti sekarang ini. Pun percakapan semacam itu sudah jamak terjadi saat ini. Kemarin saya bertemu kenalan yang sudah setahun lebih tak bertemu dan hanya terhubung via Instagram. Kalau sudah lebih dari sebulan saya tidak update Instagram, ya bahan basa-basi apa sih yang dia punya. Akhirnya pun dia berkata, "kalau kamu sibuk apa sekarang? aku nggak pernah tahu kamu ngapain akhir-akhir ini," setelah sebelumnya ia memperdalam informasi dari story teman-teman saya yang lain.
Setelah beberapa minggu sama sekali tidak menggunakannya secara intens di smartphone, saya merasakan ketenangan yang tak dapat didefinisikan. Bepergian adalah hal yang benar-benar saya nikmati untuk diri saya sendiri. Saya tak peduli lagi spot apa yang sebaiknya saya foto, saya tak peduli asalkan saya bahagia ada di tempat itu saat itu juga. Saya mengambil foto pun murni untuk saya kenang sendiri, bukan untuk berkata pada dunia bahwa saya sedang atau pernah ada di sana. Kembali pada diri sendiri adalah hal yang paling berarti selama program detoksifikasi media sosial itu. Ternyata, membatasi diri untuk tidak melihat banyak-banyak privasi orang sama pentingnya dengan menjaga privasi diri sendiri.
Menggunakan media sosial sama saja seperti sudah cukup makan, tapi dipaksa-paksa makan dessert berlebihan. Ya, soalnya there's always a room for dessert, tapi itu ga sehat kalo kebanyakan!! Ya seperti itulah kiranya main media sosial di jaman sekarang. Media sosial di jaman semua platform mau meniru Snapchat dan bikin segala bentuk story-story-an. Banyak manusia mulai membagi kehidupan yang sebenarnya tak perlulah dibagi. Lebih banyak pula manusia yang mengonsumsi hidup orang lain walaupun sebenarnya tidak memerlukan dan akhirnya cuma jadi racun untuk hidupnya.
Melalui tulisan ini saya tidak sedang mencoba berkata bahwa media sosial itu racun dunia yang perlu dijauhi juga sih. Main media sosial ada banyak pula kok faedahnya, termasuk mendukung usaha personal branding di jaman masuk job fair rasanya sudah seperti belanja di pasar beringharjo ketika bulan puasa ini. Seperti yang sudah-sudah, apa yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Seperti makan sate kambing, kalau kebanyakan akhirnya darah tinggi juga. Kalau sudah mulai ada gejala stroke karena kebanyakan lihat informasi nir faedah di media sosial, ada baiknya saya sarankan untuk berhenti sejenak menikmati kicau burung di pagi hari, memberi makan ayam peliharaan kalau punya, dan menghapus aplikasinya sebentar saja dari ponsel Anda.