Beberapa hari yang lalu, saya berjumpa dengan teman lama yang berbulan-bulan tidak saya temui. Namun, obrolan kami di chat selalu panjang, memeras pikiran. Teman kami tak pernah berhenti mencari sensasi. Kami berdua selalu mengakhiri chat dengan, "Ya udah lah, pusing juga, kita kan juga punya hidup." Hari berikutnya, topik yang sama bergulir lagi, alasannya, "Ya tapi aku ga tega kalau teman kita berbuat begitu. Kalau bukan kita, siapa lagi yang berani mengingatkan?" Hingga akhirnya saya mengajaknya untuk bertemu. Ada kabar baru, kita harus berjumpa, begitu kiranya saya mengajaknya. Malam itu saya bercerita sambil berapi-api karena sudah lelah tapi tidak bisa untuk tidak peduli. Jadi ya lebih baik saya bagi saja cerita itu supaya tidak ada beban di hati. Akhirnya perbincangan malam itu ditutup dengan, "Sudahlah mari kita lanjutkan hidup masing-masing." Sambil memijat kening dan prihatin atas rumitnya jalinan pertemanan di sebuah lingkaran yang tadinya seru sekali.
Lalu tiba-tiba ada teman yang tidak membalas chat. Dibaca saja. Ternyata putus cinta. Oalah. Teman yang lain tiba-tiba mengajak saya berjumpa di sebuah coffee shop. Lagi-lagi, drama kehidupan lain yang saya dengar. Sepulang dari pertemuan itu saya mengirim pesan kepadanya. "Sudah lah buat apa dipikirkan sering-sering, lebih baik menyelamatkan saldo rekening kita yang sudah tak lagi sedap dipandang ini," tulis saya sambil terkulai lemas di atas tempat tidur, pusing memikirkan analisis data skripsi yang saya tidak tahu caranya supaya cepat selesai.
Susah ya jadi calon orang dewasa.
Susah ya jadi calon orang dewasa.