Jalanan Jakarta terlihat seperti biasa, seperti yang orang-orang katakan, seperti yang media massa ributkan, seperti yang teman-teman saya keluhkan, seperti itu, seperti sore itu, macet. Jam pulang kantor katanya, lahan parkir raksasa di tengah kota akibatnya.
Berpose layaknya pemain film yang sedang merenung, saya memandang ke luar kaca mobil. Akhirnya saya lihat lagi kota ini, saya pandangi lagi berulang-ulang. Yang membuat senang saat berada di Jakarta adalah kota ini dapat membuat saya berpikir, entah tentang apa saja. Apabila tidak sedang diserang rutinitas menjemukan yang berada di kota ini, kota ini adalah ladang inspirasi dari berbagai hal. Baiklah, mungkin saya tidak akan mengatakan apapun yang berhubungan dengan inspirasi-inspirasi beterbangan yang ada di kota ini.
"Kamu masih inget Teh Gita, nggak?" tiba-tiba eyang bertanya saat saya sedang berkonsentrasi memikirkan banyak hal melampaui kaca mobil. "ya, masih inget, emang kenapa?" Teh Gita adalah kakak dari teman masa kecil yang dulu tinggal satu blok dengan saya. "besok minggu depan mau nikah lho.." dan kini semakin banyak kata menikah, dilamar, pacaran, calon mantu, atau apapun termasuk jodoh yang berseliweran dalam hidup saya. Memang, jarak umur Teh Gita dengan saya cukup jauh, setidaknya ia memenuhi persyaratan jarak antar anak jika mengikuti program KB dengan adiknya yang notabene adalah teman sepermainan saya. Namun, dari dulu hingga saat terakhir ini, bagi saya Teh Gita masih seorang anak lebih besar yang duduk di kelas 6SD, belum saatnnya menikah. Nyatanya, dia sudah menikah sekarang. Nyatanya, saya kini sudah melampaui kelas 6SD.
"Sekarang kuliah di mana sih?" setidaknya itu adalah pertanyaan saya yang berulang untuk teman-teman masa kecil sekomplek saya. Yang saya ingat, saya dulu balapan sepeda dengan mereka supaya dapat bintang tambahan di tempat les sempoa karena datang lebih awal hingga menabrak pagar. Yang saya ingat dulu mereka bertanya "mau sepedaan kemana?". Yang saya ingat, adalah petualangan mencari telur ular di got. Yang saya ingat, saya meledakkan biji yang entah apa itu di dalam air. Yang saya ingat, saya memusuhi teman saya karena dia teralu lemah lembut dan tidak pernah menggigit orang lain. Yang saya ingat, saya marah karena anak tetangga meniup pianika saya dengan mulut penuh nasi. Yang saya ingat, saya dititipkan di rumah tetangga sambil disuapi kolak karena saya tidak mau makan. Yang saya ingat, saya menyelamatkan sekeluarga kucing dan membuat klub penyelamat kucing yang keren. Yang saya ingat, saya ingin sekali punya game barbie di komputer saya yang hanya punya game main kelereng. Yang saya ingat, tidak banyak.
Sekarang, mereka sudah hilang entah kemana. Teman-teman satu blok saya sudah pindah ke blok-blok lain, mengasingkan diri dari kehidupan sosial seperti layaknya anak-anak dulu. Ada juga yang kini sudah kuliah di luar negeri, ada lagi anak bayi yang kini sudah mau masuk SMP.
Di setiap sudut rumah dan komplek saya masih sering bertanya pada diri sendiri, "masih ingat nggak?" ketika saya melewati rumah-rumah yang berganti penghuni, ketika saya melihat satpam yang tak pernah ganti pekerjaan, ketika saya melihat beberapa anak disuapi sambil bermain di taman komplek, ketika saya bingung karena sudah ada rumah-rumah baru di atas jalur balap karung dulu, ketika saya menunggu penjual makanan lewat dan saya sudah tak mengenali suaranya.
Kemudian saya ingat bahwa kini saya sudah berada di masa saya harus mengingat-ingat banyak hal. Masa di mana saya punya banyak pertanyaan "kamu ingat nggak?"
3.19.2013
3.13.2013
Anonim
Saya memasuki gerbong kereta yang tidak terlalu penuh, tidak ada dua puluh orang yang ada di dalamnya. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Jakarta, memasrahkan apapun yang akan terjadi di sana, entah akan bepergian atau hanya terpaku di depan televisi sambil membaca novel tebal yang tak kunjung usai dibaca. Saya menaikkan tas ransel ke tempat yang sudah disediakan di atas kursi penumpang. Beberapa orang terdengar riuh meributkan harga tiket yang akhir-akhir ini melambung tinggi di hari-hari tertentu. Beberapa ibu-ibu sibuk bertukar cerita dengan seorang bapak yang katanya sudah sangat sering bepergian dengan kereta. Saya tersenyum kepada seorang ibu yang duduk di hadapan saya kemudian menekuri telepon genggam. Entah mengapa saya mengasingkan diri.
Kereta mulai berjalan, setelah beberapa saat saya memutuskan untuk pindah ke tempat duduk kosong yang jumlahnya seperti tak terbatas di kereta itu. Maklum, bukan hari libur, seolah-olah membeli satu tiket dapat digunakan oleh empat orang. Sebelumnya, seorang perempuan yang duduk di sebelah saya membuka kotak makannya, "Makan?" ujarnya.
Saat sudah benar-benar pindah tempat duduk, saya meluruskan kaki di bangku kereta dengan merdeka. Membuka novel dan mengasingkan diri. Beberapa kali melirik kepada penumpang yang melakukan hal yang sama dengan saya di kursi seberang. Seorang lelaki dengan sebuah novel berbahasa inggris dan tas kamera. Ah, saya hanya tertarik dengan novel dan kameranya. Lelaki itu juga berkali-kali melirik, merasa diintai mungkin. Beberapa kali pula saya melewati tempat duduk saya semula untuk pergi ke toilet, tersenyum sekadarnya kepada ibu dan seorang perempuan muda yang seharusnya menjadi rekan sebangku saya.
Kereta mulai mendekati stasiun Jatinegara. Sebagian penumpang sudah berceceran di stasiun-stasiun sebelumnya. Saya kembali ke tempat duduk semula, mengambil ransel saya sambil sekali lagi tersenyum kepada ibu yang ada di sana. Seorang petugas keamanan kereta api menanyakan dimana saya akan turun. "Jatinegara, sebentar lagi kan, pak?" selanjutnya petugas keamanan itu melambaikan tangannya untuk menuju ke dekat pintu gerbong, "sendirian aja, dek? tunggu di sini aja, sudah dekat" saya yakin ia mengira saya seorang anak SMP yang baru pertama kali naik kereta sendirian.
Saat saya sudah benar-benar menginjakkan kaki di ibu kota, saya mulai berjalan ke pintu keluar stasiun menghampiri pak sopir yang sudah menjemput. Seorang ibu dan perempuan yang duduk di tempat duduk saya sebelumnya menghampiri dan berjalan sejajar dengan saya. "kamu dijemput kan, dek?" saya hanya mengiyakan sambil sekilas tersenyum.
Pada suatu perjalanan ke Jakarta, seorang teman saya melemparkan bantal ke tempat duduk yang ada di seberang saya agar saya tidak usah malu-malu untuk duduk di tempat duduk kosong itu. Beberapa detik kemudian saya memberi kode, "masnya ganteng, nih.." Saat saya sudah duduk, lelaki yang duduk di hadapan kursi kosong itu tersenyum dan tertawa, "haha, kalau kalian bertiga pindah ke sini juga boleh." Yang selanjutnya terjadi adalah obrolan basa-basi antar orang asing yang terjadi di antara saya dan lelaki itu. Bercerita tentang saya yang baru saja diterima sebagai mahasiswa, atau dia yang baru saja menjadi sarjana setahun yang lalu, dan lainnya. Kami akhirnya tertidur di kursi masing-masing. Saat terbangun, saya menyadari bahwa kereta itu masih membutuhkan waktu yang panjang untuk membawa saya ke Jakarta. Saya memandangi novel membosankan yang saya letakkan di atas meja kecil yang ada di hadapan saya, "aaaa, bosen banget..." keluh saya. Lelaki itu kemudian mengambil salah satu dari lipatan koran yang dibacanya, "nih baca, bisa baca nggak?" saya tertawa dan kami bertukar bahan bacaan. Ia membaca novel yang saya bawa untuk membuktikan bahwa novel itu memang membosankan.
Sampai sekarang, saya tidak pernah mengetahui namanya, bilang saja bodoh, tapi saya sama sekali tidak terpikirkan untuk benar-benar mengetahui namanya. Dapat bertukar cerita dan tertawa bersama membuat saya merasa sudah mengenal orang-orang yang saya temui secara kebetulan, membuat mereka tetap menjadi anonim. Hal itu terbukti oleh dua orang ibu-ibu yang mengobrol banyak hal, duduk bersama, memarahi kondektur bersama, hingga makan bersama pada perjalanan terakhir saya ke Jakarta. Saya mendengar mereka baru saling menyebutkan nama ketika kereta akhirnya berhenti di Stasiun Jatinegara.
Bertemu orang asing juga dapat dianggap sebagai suatu kesempatan untuk membuang sampah. Membuang sampah-sampah yang ada di pikiran kita. Meskipun saya belum pernah melakukannya, saya sudah beberapa kali menjadi tempat sampahnya. Misalnya saja ketika saya check-in terlalu pagi di bandara Soekarno-Hatta dan tidak sengaja duduk di kursi khusus lansia karena ransel saya berat berlebihan. Seorang ibu yang umurnya mungkin sudah memasuki angka 80 tahun mengeluh tentang anaknya yang tak mau mendengarkan sarannya ditambah dengan cerita lain tentang anak-anaknya yang sukses mendapat beasiswa dan pekerjaan hebat. Atau seorang Bangladesh yang tiba-tiba bercerita bahwa ia baru saja terkena denda sangat tinggi di Singapura saat saya sedang duduk menunggu jemputan di pinggir jalanan KL. Di lain waktu saat saya masih SMP, seorang laki-laki yang mengaku baru saja mengikuti ujian masuk di salah satu universitas negeri di Yogyakarta bercerita panjang lebar tentang dirinya yang sudah lebih dari dua jam di atas Transjogja karena tak tahu jalur yang benar untuk menuju rumah temannya. Untuk beberapa saat, kisah dan raut wajahnya berhasil membuat saya iba.
Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa bertemu dengan orang lain dan tetap menjadi anonim dapat membuat saya mengarang cerita sesuka hati. Saya mengaku bahwa saya tinggal di rumah eyang saya di jogja dan saya berasal dari Jakarta kepada seorang ibu di bandara. Pertanyaan tinggal dimana adalah yang paling malas saya jawab sehingga beberapa kali saya mengarang lokasi tempat tinggal saya, sekenanya.
"Jangan bicara pada orang asing" adalah pesan yang biasanya dikatakan para orangtua saat membiarkan anak-anaknya keluar rumah. Di saat bepergian pesan itu lebih banyak tidak berlaku. Orang-orang asing adalah bagian dari perjalanan, menurut saya. Mereka adalah pengisi utama perjalanan, terlebih lagi jika bepergian sendiri. Mereka adalah orang-orang terdekat di kala perjalanan, tak peduli identitasnya, bahkan seringkali saya tidak menanyakan nama, mereka adalah anonim yang dapat bertukar cerita dan tawa. Mereka memberi sudut pandang baru pada sebuah perjalanan, menghadirkan pengalaman baru yang tidak pernah tercantum dalam catatan perjalanan apapun. Orang-orang tanpa identitas itulah yang akhirnya memberikan identitas kepada perjalanan saya, memberikan sentuhan pribadi pada setiap perjalanan.
Sampai sekarang, saya tidak pernah mengetahui namanya, bilang saja bodoh, tapi saya sama sekali tidak terpikirkan untuk benar-benar mengetahui namanya. Dapat bertukar cerita dan tertawa bersama membuat saya merasa sudah mengenal orang-orang yang saya temui secara kebetulan, membuat mereka tetap menjadi anonim. Hal itu terbukti oleh dua orang ibu-ibu yang mengobrol banyak hal, duduk bersama, memarahi kondektur bersama, hingga makan bersama pada perjalanan terakhir saya ke Jakarta. Saya mendengar mereka baru saling menyebutkan nama ketika kereta akhirnya berhenti di Stasiun Jatinegara.
Bertemu orang asing juga dapat dianggap sebagai suatu kesempatan untuk membuang sampah. Membuang sampah-sampah yang ada di pikiran kita. Meskipun saya belum pernah melakukannya, saya sudah beberapa kali menjadi tempat sampahnya. Misalnya saja ketika saya check-in terlalu pagi di bandara Soekarno-Hatta dan tidak sengaja duduk di kursi khusus lansia karena ransel saya berat berlebihan. Seorang ibu yang umurnya mungkin sudah memasuki angka 80 tahun mengeluh tentang anaknya yang tak mau mendengarkan sarannya ditambah dengan cerita lain tentang anak-anaknya yang sukses mendapat beasiswa dan pekerjaan hebat. Atau seorang Bangladesh yang tiba-tiba bercerita bahwa ia baru saja terkena denda sangat tinggi di Singapura saat saya sedang duduk menunggu jemputan di pinggir jalanan KL. Di lain waktu saat saya masih SMP, seorang laki-laki yang mengaku baru saja mengikuti ujian masuk di salah satu universitas negeri di Yogyakarta bercerita panjang lebar tentang dirinya yang sudah lebih dari dua jam di atas Transjogja karena tak tahu jalur yang benar untuk menuju rumah temannya. Untuk beberapa saat, kisah dan raut wajahnya berhasil membuat saya iba.
Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa bertemu dengan orang lain dan tetap menjadi anonim dapat membuat saya mengarang cerita sesuka hati. Saya mengaku bahwa saya tinggal di rumah eyang saya di jogja dan saya berasal dari Jakarta kepada seorang ibu di bandara. Pertanyaan tinggal dimana adalah yang paling malas saya jawab sehingga beberapa kali saya mengarang lokasi tempat tinggal saya, sekenanya.
"Jangan bicara pada orang asing" adalah pesan yang biasanya dikatakan para orangtua saat membiarkan anak-anaknya keluar rumah. Di saat bepergian pesan itu lebih banyak tidak berlaku. Orang-orang asing adalah bagian dari perjalanan, menurut saya. Mereka adalah pengisi utama perjalanan, terlebih lagi jika bepergian sendiri. Mereka adalah orang-orang terdekat di kala perjalanan, tak peduli identitasnya, bahkan seringkali saya tidak menanyakan nama, mereka adalah anonim yang dapat bertukar cerita dan tawa. Mereka memberi sudut pandang baru pada sebuah perjalanan, menghadirkan pengalaman baru yang tidak pernah tercantum dalam catatan perjalanan apapun. Orang-orang tanpa identitas itulah yang akhirnya memberikan identitas kepada perjalanan saya, memberikan sentuhan pribadi pada setiap perjalanan.
Subscribe to:
Posts (Atom)