"Ya sudah, nggak apa-apa," adalah kalimat yang selalu saya katakan pada diri sendiri sepanjang tahun 2018. Banyak yang luput dari target, salah rencana, bahkan gagal terlaksana. Setelah dua tahun alfa menulis review tahunan, ada baiknya saya kembali, menemukan diri saya sekali lagi.
Tidak ada harapan apa-apa saat memulai tahun 2018. Ya pokoknya begini, lihat saja apa yang akan terjadi. Saya tidak berharap apa-apa pada pekerjaan pun pada diri sendiri. Saya hanya ingin melihat, sebenarnya apa sih yang sedang saya hadapi sekarang? Saya ingin membuktikan, bahwa ini jalan yang ternyata tidak saya inginkan. Jika sebaliknya, berarti itu adalah fakta baru.
Tidak ada yang terjadi di tahun 2018. Bekerja sambil bertanya setiap pagi, "kapan ini berakhir?" Hingga akhirnya ada jalan untuk mengakhiri semua. Pun akhirnya gagal, karena ada jalan lain yang nampak lebih indah. Saya sudah bersiap untuk kejutan apapun di tahun ini. Saya tidak kaget jika tahun ini saya kecewa luar biasa pun tidak terlalu bersemangat jika ada kabar baik menghampiri. Semuanya biasa-biasa saja karena tahun itu saya sungguh tidak tahu mau menuju apa.
Sudah cukup seperti orang yang tidak punya tujuan hidup bukan?
Ya setidaknya ada momen-momen baik di tahun 2018. Sayang, semuanya bukan milik saya. Di tahun itu, saya adalah penonton setia yang berbahagia. Bahagia melihat teman-teman kantor akhirnya pergi satu per satu ke tempat yang lebih menjanjikan. Bahagia melihat Bisma berhasil membuka kembali roastery-nya dan melihat ia hidup kembali dengan semangatnya. Bahagia melihat teman-teman yang menang pitching. Bahagia melihat Tita akhirnya menikah.
Saya tidak melangkah lebih jauh di tahun 2018. Saya terdiam, terpaku melihat hiruk pikuk manusia lainnya. Saya memandang dari kejauhan mereka yang memanggil-manggil, menawarkan rute baru. Saya hanya terdiam, tidak ingin melangkah. Bisa jadi, ada binatang buas sepanjang perjalanan. Bisa jadi, saya salah perjalanan. Sesungguhnya saya tidak tahu harus mengarah ke mana. Semua ada di kepala, tapi kenyataan terlalu membingungkan. Di tahun ini, ternyata saya dipeluk ketakutan, digandeng keraguan hingga saya memilih diam saja.
Di tahun ini, saya belajar satu hal. Ada banyak orang pembohong. Saya belajar, marah dan menentukan sikap adalah salah satu cara jadi dewasa. Tidak ada yang bisa dipercaya kecuali diri sendiri karena semua orang ingin keuntungannya sendiri. Di 2018, saya marah luar biasa pada diri sendiri, keadaan, pilihan-pilihan yang saya ambil, dan nasib buruk. Memang itu tidak mengubah apapun, tapi setidaknya saya tahu saya marah. Saya boleh marah untuk melindungi diri sendiri.
Dari 2018 saya punya satu bekal berharga untuk memulai 2019. Ikhlas. Semua yang saya pilih di tahun lalu, baik dan buruknya harus diterima dengan ikhlas. Bara-bara kemarahan saya dari tahun itu pun masih menyala, mengingatkan saya untuk melangkah lebih sigap mengambil apa yang terlewatkan.
1.15.2019
7.27.2017
Menanam Benih, Memanen Duka Lara, dan Lupa
Banyak yang pengalaman berkebunnya berhenti pada pelajaran perkembangbiakan tanaman saat SD, yaitu saat menumbuhkan kecambah dari biji kedelai di atas kapas basah. Kalau boleh sombong, pengalaman berkebun saya melesat begitu hebat setelah proyek kapas basah itu. Sejak proyek itu, saya jadi suka sekali bercocok tanam. Apalagi ketika percobaan tanamannya ditaruh di bawah kasur dan tempat bercahaya. Wow keren sekali hanya karena secercah cahaya dia punya kehidupan lebih baik dibanding temannya yang sial kena plotting di bawah kasur.
Setelah itu, saya menanam jagung di halaman rumah. Berhasil dengan baik sampai tanaman jagungnya meninggi dan berhasil dipanen meskipun seingat saya jagungnya nggak enak. Di samping tanaman jagung, ada kacang yang saya tanam dengan seksama, berhasil dipanen pula. Sebuah prestasi yang layak diabadikan juga ya ternyata. Hebat! Yang saya ingat sih kacang dan jagung, sisanya saya lupa tanaman apa saja yang berhasil tumbuh dan dipanen, tapi sepertinya hasilnya tidak signifikan sampai saya lupa. Keberhasilan jagung dan kacang itu memompa semangat saya untuk terus merawat biji-bijian agar menjadi tanaman. Kadang-kadang berhasil, di lain waktu saya lupa juga menanam di mana karena terlalu sembarangan. Kalau sedang sial ya terinjak orang yang menyiram tanaman, atau tercabut karena dikira rumput.
Pada suatu masa, saya pun pindah rumah. Tentu saja perlu penjajakan terhadap lahan pertanian saya. Sejak jauh-jauh hari saya sudah mengklaim halaman belakang rumah baru adalah lahan perkebunan saya. Bahkan saya punya rencana untuk menanam padi di situ. Hebat kan sepak terjang karir pertanian dan perkebunan saya pada masa itu. Sejauh yang saya ingat, pada akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan karir pertanian saya dengan menanam jagung dan kawan-kawannya di belakang rumah. Kali ini dengan konsep ciamik. Setiap tanaman saya pisahkan di blok-blok sendiri, diberi label nama-nama tanamannya. Di sini jagung, di sana kacang, dan seterusnya. Sebuah impian jika suatu hari dapat masak sayur asem dari kebun sendiri. Betapa hebatnya mengabaikan tukang sayur yang lewat karena saya sudah bisa petik sendiri, begitu angan-angan saya. Impian masa kecil saya memang begitu agraris dan tidak mengada-ada, benar adanya.
Hingga datanglah masa liburan sekolah. Jika libur sekolah, saya akan pergi ke rumah kakek dan nenek di...ibukota. Benar teman-teman, saya meninggalkan kebun saya untuk berlibur ke ibukota. Kebalikan dari kisah di buku pelajaran Bahasa Indonesia, Ani dan Budi berlibur ke rumah nenek yang punya kebun. Saya sebaliknya.
Sepulang dari ibukota, saya berangan-angan kebun saya sudah tumbuh subur. Setidaknya hijaunya daun-daun tunas sudah bisa terlihat dari biji-biji yang ditanam itu. Sayang seribu sayang hanya kekecewaan yang muncul. Yang saya temukan hanyalah galian tanah di belakang rumah, kebun saya diubah jadi kolam ikan! Sebuah kejahatan! Seketika itu juga saya menangis tesedu-sedu, terluka kehilangan kebun impian. Sore itu adalah kehancuran bagi saya. Saya masih ingat tangis saya sore itu, kehilangan kebun jagung yang dinanti-nanti dalam angan, bahkan sejak berangkat pulang dari Jakarta.
Tangis yang begitu dramatis itu membuat Papa saya memberi solusi yang mungkin cukup jitu, tapi tetap saja tak mengobati luka ini. Saya diajak ke ladang ketela di seberang jalan depan rumah (yang kalau ditengok saat ini sudah berubah jadi rumah bertingkat), kemudian saya diajak mengambil beberapa batang pohon ketela (duh, saya nggak yakin ini legal atau tidak, tapi usaha seorang ayah menghibur anaknya bolehlah dijadikan alasan untuk melegalkannya). Batang-batang pohon ketela itu dipotong-potong dan ditanam rapi, di lahan yang tersisa tidak terkena galian kolam ikan. Ladang jagung saya berubah jadi ladang ketela.
Hati yang terluka, meski sudah sembuh pasti ada bekasnya. Sejak saat itu saya jadi malas mengurus kebun, terlanjur sakit hati kebun jagung saya dijadikan kolam ikan. Meskipun ladang ketela saya cukup luas, saya tidak terlalu mempedulikannya. Takut berharap, takut kecewa. Ya pada akhirnya beberapa batang pohon ketela itu tumbuh baik, bisa dipanen dan berhasil jadi kolak, getuk, dan oleh-oleh karena besar sekali. Hanya saja si pohon tumbuh tanpa niat baik dan ketulusan saya yang terlanjur patah hati dikecewakan kolam ikan si perusak ladang jagung.
Bertahun-tahun kemudian, ketika kuliah pagi sudah jarang, saya mulai mendapat semangat berkebun itu lagi. Untungnya, si kolam ikan akhirnya pun tiada karena tidak ada yang mengurus dan dibongkar jadi lahan luas lagi. Saya mulai menebarkan biji-biji bayam, kangkung, tomat, dan timun. Timun dan tomat gagal panen. Bayam dan kangkung berhasil panen satu kali, jadi sayur bobor serta oseng kangkung. Selanjutnya, saya alfa dan lupa menyirami. Bangun kesiangan, kuliah pagi, lupa, dan musnahlah kebun kecil saya.
Setelah kuliah selesai dan hanya skripsi yang menghantui, saya mulai berusaha lagi. Kali ini membeli bibit bunga matahari. Tingginya sekitar 30 cm, saya pindahkan dalam pot, saya sirami setiap pagi, tak lupa di-update di snapchat. Bunga matahari mengalami pertumbuhan signifikan, satu cabang batang baru di tubuhnya yang belum kuat mulai tumbuh. Sebentuk harapan mulai muncul di angan-angan, punya kebun bunga matahari, betapa Instagramable. Hingga kemudian, datanglah Lovi, kucing peliharaan adik saya, dia melompati angan-angan itu, menabrak pot bunga matahari dan mematahkan batangnya. Bersamaan dengan itu, patah pula semangat saya menghidupi tanaman itu hingga akhirnya layu terinjak kucing.
Sekarang, saya masih belum pulih dari kekecewaan tumbuhan-tumbuhan yang gagal tumbuh itu. Bibit-bibit sayuran masih menumpuk di sudut lemari, rajin saya beli tiap melihat penjual bibit dan pergi ke supermarket. Namun sayangnya, kali ini saya perlu menanam semangat hingga tumbuh optimisme yang bisa dipanen untuk memulai kebun impian lagi. Haruskah saya menanam kembali?
---
Tulisan ini adalah bagian dari progran "Tulis Saja, Kapan Lagi" bersama Anindita Lintang dan Gusti Arirang. Tulisan ini untuk tema berkebun, tema yang sudah ditentukan tiga minggu lalu, masih ada dua tema lagi yang akan saya susulkan. Selamat menanam apapun dalam hidup, jika panennya kekecawaan masih ada banyak kesempatan untuk bertanam, lahan masih luas.
7.02.2017
Grup WA Keluarga
Lebaran kali ini dihebohkan dengan kehadiran seorang eyang yang tiba-tiba masuk di grup whatsapp keluarga. Eyang ini adalah kakak dari eyang saya, umurnya sudah lebih dari 75 tahun dan tepat sebelum Idul Fitri resmi menjadi anggota grup whatsapp keluarga yang berisi anggota keluarga dalam satu trah. Peristiwa ini menjadi perbincangan hangat di acara kumpul trah kemarin dan bahkan memancing beberapa orang tua mencetuskan lelucon-lelucon ala mereka terkait kegagapan teknologi anggota baru grup.
"Aku semalaman belajar gimana caranya membalas pesan dan buka chat," begitu ujar eyang yang baru saja jadi anggota grup. Sebuah usaha yang akhirnya tetap saja gagal dan berakhir menjadi bahan tertawaan anggota keluarga lainnya.
Perihal generasi tua yang tiba-tiba hadir di platform-platform komunikasi kekinian bukanlah hal yang baru bagi saya terlebih dua tahun terakhir. Pertama-tama, eyang saya yang baru saja dibelikan handphone android oleh bude tiba-tiba rajin menelpon dengan pesan yang hampir sama, "nin, sini o, ini kok pulsaku habis ya padahal udah langganan internet." Telepon macam ini tidak hanya sekali atau dua kali, tapi sering dengan keluhan bervariasi, mulai dari caranya aktivasi paket data, kuota internet yang langsung habis pasca dipakai menonton Kick Andy di Youtube, sampai cara membuka kiriman foto di WhatsApp. Semua adalah hal remeh temeh yang bisa beres dalam hitungan detik di tangan generasi Y sampai Z.
Jarak memang mengubah segalanya, termasuk hati yang bisa tiba-tiba lupa pernah beranak kupu-kupu karenanya. Kemajuan teknologi dan jarak dengan orang tua kini mau tidak mau harus digabungkan untuk mendapat solusi paling tepat. Tak mungkin lagi lah bergantung dengan sambungan telpon saja karena pertama boros pulsa, kedua jaman sekarang yang perlu dibagi ada banyak sekali. Mulai foto hari ini masak apa sampai video cucu sudah bisa nyanyi "twinkle-twinkle little stars". Kalau begini, generasi yang sudah ada lebih dulu tentu saja harus mengalah. Mengalah meluangkan waktu untuk belajar buka chat di WhatsApp dan membiasakan diri untuk tidak menempelkan handphone di telinga padahal video call. Generasi yang lebih muda juga harus bersabar menjadi teman belajar berteknologi mereka. Harus bersabar kalau tiba-tiba di-video call padahal sedang meeting dengan klien penting, atau kalau saya sih pernah tiba-tiba di-video call ketika lagi nangis jelek banget gara-gara berantem sama pacar waktu masih punya. Ya tentu saja tidak diangkat dong, daripada kemudian kabar saya nangis terus tersebar di WhatsApp.
Kehadiran mereka tentu saja tidak berhenti begitu saja di WhatsApp dan Line. Bagi generasi eyang -eyang yang masih agak lebih muda, Facebook adalah sasaran setelah belajar berkirim foto dengan cucu di WhatsApp. Perilaku bermedia sosial ini adalah yang terakhir saya temukan pada eyang sendiri. Berfoto kini tak cukup sekali, harus diulang supaya layak unggah. Setelah berfoto, saya sudah langsung bisa lihat hasilnya di beranda Facebook saya. Cepat, kilat, seperti tukang foto keliling jaman saya masih TK. Perubahan-perubahan perilaku karena perkembangan teknologi macam ini sejatinya bukan hal baru, bagi generasi yang lebih muda. Namun, jadi terlihat mencolok ketika yang melakukan adalah eyang-eyang yang beberapa tahun lalu bertanya, "Facebook ki opo to?" sambil belajar mencari tombol send untuk mengirim SMS.
Kehadiran lansia belajar teknologi ini adalah sebuah fenomena yang masih jadi pertanyaan bagi saya. Apakah perlu ditanggapi dengan serius atau tidak, ya? Apakah ini hanyalah fase sebelum akhirnya mereka semua cakap teknologi dan tidak perlu telpon cucunya lagi kalau mau buka kiriman foto di WA. Ataukah sebenarnya perlu ada inovasi khusus untuk memudahkan mereka mencari tombol send dan download? Mengingat mungkin desain interface yang dikembangkan sekarang bisa jadi tidak ramah bagi lansia. Seberapa penting dan perlu sih dipikirkan kemudahan akses teknolgi ramah lansia? Mengingat ya nantinya generasi ini tidak bertahan lama dan akan digantikan oleh generasi-generasi cakap teknologi selanjutnya.. Tapi, bukankah lebih bahagia jika para lansia ini bisa ngobrol dengan cucu-cucunya yang baru masuk SD tanpa harus bingung tekan tombol yang mana?
3.25.2017
Bervakansi ke Dunia Nyata
Saya ini orangnya kadang sering nggak tau kalo sedang sedih. Kadang-kadang nggak paham kalo saya perlu diam sebentar dan meresapi apa yang terjadi. Di kesempatan lain kadang saya memilih untuk menolak bersedih dan pura-pura senang supaya lupa kalau ada sesuatu yang menyedihkan.
Dua bulan lalu, saya sedang duduk di bandara, transit di Malaysia untuk melanjutkan penerbangan ke Vietnam. Perjalanan itu saya gunakan untuk pergi dari kesedihan dan menganggap semua akan baik baik saja pada waktunya tanpa harus berkawan dengan air mata. Hingga akhirnya, di Kuala Lumpur saya menangis tersedu-sedu sendirian. Pasalnya, saya baru saja membuka Instagram dan melihat sebuah unggahan yang sama sekali tidak ingin saya tahu. Unggahan itu seolah mengamini pikiran-pikiran buruk yang saya pikirkan beberapa waktu sebelumnya. Saya kira saya akan baik-baik saja, ternyata tanpa sadar saya sudah menangis tersedu-sedu hingga sesak nafas. Handphone saya berdering beberapa kali, keluarga saya mengabarkan kalau sebentar lagi kami akan berangkat ke Ho Chi Minh. Saya masih gelagapan berlari ke toilet, mencuci muka supaya tak menimbulkan banyak pertanyaan.
Sejak saat itu saya pikir ada baiknya berhenti memakai media sosial sehingga bisa menghindari informasi-informasi yang sebaiknya tidak saya ketahui. Bukannya menghindari kesedihan, tapi saya pikir memang lebih baik saya merangkul kesedihan tanpa perlu membumbu-bumbuinya dengan informasi yang menambah kepedihan. Jika sedih, memang ada baiknya buka instagram lalu nontonin video dari ibunya Kirana sambil tertawa sendiri. Namun, lihat story instagram dan nonton mantan lagi asik-asikan sama gebetan barunya setelah itu juga pedihnya tak terperi. Maka dari itu, setelah saya pikir-pikir tak perlulah saya bertahan di kehidupan fana media sosial yang sekarang lebih banyak mengumbar kehidupan pribadi nir faedah alih-alih berbagi visual nan aesthetique.
Alhasil saya memutuskan untuk menghapus media sosial nir faedah seperti Instagram dan Path di smartphone saya. Media sosial yang akhir-akhirnya hanya menambah bahan untuk bergunjing, iri, dengki, dan cemburu. Hitung-hitung mengurangi racun-racun yang menghambat penulisan skripsi saya. Saya pun dengan seksama tanpa media sosial tak berguna itu menulis skripsi saya dengan damai. Membaca beberapa jurnal tentang media sosial dan relasi antar penggunanya sebagai bahan menulis skripsi pula.
Beberapa minggu berlalu, skripsi saya sudah cukup banyak terkerjakan dan ajaibnya saya merasa lebih merdeka tanpa terjajah informasi-informasi tak berfaedah dari media sosial. Saya berada pada situasi di mana tak perlulah teman-teman media sosial saya tahu, pun saya juga tak lagi peduli si A sedang di mana bersama siapa atau si B sedang apa mau ke mana. Rupa-rupanya media sosial itu toxic juga ya. Menurut Thompson (2008), media sosial menciptakan sebuah konsep bernama digital intimacy, situasi di mana media sosial mengkondisikan penggunanya untuk saling tahu tentang keadaan pengguna lainnya. Hal inilah yang kemudian menciptakan keintiman semu, keintiman yang terjadi tanpa komunikasi secara langsung, chat pribadi, apalagi tatap muka. Hanya dengan buka Instagram, saya sudah tahu Pevita Pearce kemarin siang lari terengah-engah dari Amplaz menuju Gardena. Sebagai non-fans Pevita, informasi itu tidak penting sama sekali, tapi mau tak mau saya jadi tahu karena tidak sengaja lihat story-nya di explore Instagram.
Saat ini sudah bukan eranya lagi berbasa-basi, "Apa kabar?" karena kini semua orang tahu kamu kemarin sarapan apa sama siapa, pakai sambel berapa sendok. Sekarang saatnya menaikan level keintiman pertanyaan basa-basi jadi, "tukang bubur ayam tempatmu sarapan kemarin itu calon mertuaku lho." Yah, tak perlulah juga dijawab "kok tau aku makan bubur ayam di sana?" karena ya semua orang itu dasarnya adalah penguntit di era media sosial seperti sekarang ini. Pun percakapan semacam itu sudah jamak terjadi saat ini. Kemarin saya bertemu kenalan yang sudah setahun lebih tak bertemu dan hanya terhubung via Instagram. Kalau sudah lebih dari sebulan saya tidak update Instagram, ya bahan basa-basi apa sih yang dia punya. Akhirnya pun dia berkata, "kalau kamu sibuk apa sekarang? aku nggak pernah tahu kamu ngapain akhir-akhir ini," setelah sebelumnya ia memperdalam informasi dari story teman-teman saya yang lain.
Setelah beberapa minggu sama sekali tidak menggunakannya secara intens di smartphone, saya merasakan ketenangan yang tak dapat didefinisikan. Bepergian adalah hal yang benar-benar saya nikmati untuk diri saya sendiri. Saya tak peduli lagi spot apa yang sebaiknya saya foto, saya tak peduli asalkan saya bahagia ada di tempat itu saat itu juga. Saya mengambil foto pun murni untuk saya kenang sendiri, bukan untuk berkata pada dunia bahwa saya sedang atau pernah ada di sana. Kembali pada diri sendiri adalah hal yang paling berarti selama program detoksifikasi media sosial itu. Ternyata, membatasi diri untuk tidak melihat banyak-banyak privasi orang sama pentingnya dengan menjaga privasi diri sendiri.
Menggunakan media sosial sama saja seperti sudah cukup makan, tapi dipaksa-paksa makan dessert berlebihan. Ya, soalnya there's always a room for dessert, tapi itu ga sehat kalo kebanyakan!! Ya seperti itulah kiranya main media sosial di jaman sekarang. Media sosial di jaman semua platform mau meniru Snapchat dan bikin segala bentuk story-story-an. Banyak manusia mulai membagi kehidupan yang sebenarnya tak perlulah dibagi. Lebih banyak pula manusia yang mengonsumsi hidup orang lain walaupun sebenarnya tidak memerlukan dan akhirnya cuma jadi racun untuk hidupnya.
Melalui tulisan ini saya tidak sedang mencoba berkata bahwa media sosial itu racun dunia yang perlu dijauhi juga sih. Main media sosial ada banyak pula kok faedahnya, termasuk mendukung usaha personal branding di jaman masuk job fair rasanya sudah seperti belanja di pasar beringharjo ketika bulan puasa ini. Seperti yang sudah-sudah, apa yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Seperti makan sate kambing, kalau kebanyakan akhirnya darah tinggi juga. Kalau sudah mulai ada gejala stroke karena kebanyakan lihat informasi nir faedah di media sosial, ada baiknya saya sarankan untuk berhenti sejenak menikmati kicau burung di pagi hari, memberi makan ayam peliharaan kalau punya, dan menghapus aplikasinya sebentar saja dari ponsel Anda.
2.02.2017
Early 20
Sambil membersihkan sisa-sisa bumbu ayam bakar seorang teman tiba-tiba berkata, "kok bisa ya, tiba-tiba ada banyak surprise dalam kehidupan." Sembari terus mencoba menghabiskan apa yang ada di atas piring, ia kemudian merunut kejadian-kejadian yang tidak pernah kami duga sebelumnya. "Kok bisa ya?" lagi-lagi dia berkata begitu. Setengah jam kemudian teman saya itu menangis tersedu-sedu. Menangis karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya hanya diam sambil nyengir-nyengir tak tahu mau berkata apa lagi. Hanya bisa berujar, "Susah ya, aku juga ga tau kamu harus apa."
Beberapa hari yang lalu, saya berjumpa dengan teman lama yang berbulan-bulan tidak saya temui. Namun, obrolan kami di chat selalu panjang, memeras pikiran. Teman kami tak pernah berhenti mencari sensasi. Kami berdua selalu mengakhiri chat dengan, "Ya udah lah, pusing juga, kita kan juga punya hidup." Hari berikutnya, topik yang sama bergulir lagi, alasannya, "Ya tapi aku ga tega kalau teman kita berbuat begitu. Kalau bukan kita, siapa lagi yang berani mengingatkan?" Hingga akhirnya saya mengajaknya untuk bertemu. Ada kabar baru, kita harus berjumpa, begitu kiranya saya mengajaknya. Malam itu saya bercerita sambil berapi-api karena sudah lelah tapi tidak bisa untuk tidak peduli. Jadi ya lebih baik saya bagi saja cerita itu supaya tidak ada beban di hati. Akhirnya perbincangan malam itu ditutup dengan, "Sudahlah mari kita lanjutkan hidup masing-masing." Sambil memijat kening dan prihatin atas rumitnya jalinan pertemanan di sebuah lingkaran yang tadinya seru sekali.
Lalu tiba-tiba ada teman yang tidak membalas chat. Dibaca saja. Ternyata putus cinta. Oalah. Teman yang lain tiba-tiba mengajak saya berjumpa di sebuah coffee shop. Lagi-lagi, drama kehidupan lain yang saya dengar. Sepulang dari pertemuan itu saya mengirim pesan kepadanya. "Sudah lah buat apa dipikirkan sering-sering, lebih baik menyelamatkan saldo rekening kita yang sudah tak lagi sedap dipandang ini," tulis saya sambil terkulai lemas di atas tempat tidur, pusing memikirkan analisis data skripsi yang saya tidak tahu caranya supaya cepat selesai.
Susah ya jadi calon orang dewasa.
Susah ya jadi calon orang dewasa.
Subscribe to:
Posts (Atom)